Selasa, 31 Maret 2009

PERAN PERPUSTAKAAN NASIONAL DALAM MENUMBUHKAN READING SOCIETY




By: Sofian Munawar Asgart


Kata pertama dalam surat pertama kitab suci Al-qur’an adalah “iqra” yang berarti perintah Tuhan kepada manusia untuk membaca: “Bacalah!” Fenomena ini menunjukkan bahwa membaca merupakan sesuatu yang teramat penting dalam kehidupan manusia. Pada kenyataannya memang harus diakui bahwa seluruh kebudayaan modern, pada dasarnya dibentuk dan dikembangkan di atas kegiatan keilmuan, yakni aktivitas tulis-menulis dan budaya baca (reading society).

Perjalanan sejarah manusia juga menunjukkan  bahwa bangsa-bangsa yang maju peradabannya adalah bangsa yang menghargai tradisi baca-tulis. Sebut saja beberapa contoh, misalnya Assyria, Babylonia, Mesir, Persia, Arab, Yunani, Romawi, India Kuno, Cina Kuno, semua adalah bangsa-bangsa yang maju dan berpengaruh sangat besar pada zamannya. Mereka adalah bangsa yang memiliki tradisi baca-tulis serta tingkat apresiasi yang tinggi terhadap dunia keilmuan sehingga mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan peradaban manusia. Pada perkembangan mutakhir, kedigdayaan Amerika, kemajuan Eropa serta bangkitnya "Raja Asia" Jepang, juga tak terlepas dari semangat keilmuan di mana buku dan budaya baca menjadi sokogurunya.

Abad informasi kini ditandai dengan kompetisi global untuk menguasai sebanyak mungkin informasi. Dalam konteks inilah, budaya gemar membaca memegang peran utama. Selaras dengan ini, perpustakaan memiliki posisi strategis dalam menyediakan informasi sebagai media pembelajaran dan sumber pengetahuan dalam upaya mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan masyarakat. Tak heran jika banyak pengamat menilai bahwa kondisi perpustakaan merupakan cerminan nyata dari kebudayaan serta tingkat peradaban suatu bangsa.

Apa sesungguhnya fungsi dan misi Perpustakaan Nasional (Perpusnas)? Apa saja yang menjadi kendala dan tantangan Perpusnas dalam mengembangkan visi-misinya untuk menumbuhkan budaya baca masyarakat secara optimal ? Bagaimana Perpusnas memerankan dirinya dalam upaya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa ? Beberapa hal inilah yang akan dikaji dan dielaborasi dalam tulisan ini.

 

 Perpusnas dan Tantangan Zaman

            Tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang diamanatkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta disiplin dan memiliki etos kerja yang tinggi. Selaras dengan kebutuhan masyarakat akan informasi, kehadiran perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan berbagai sumber bacaan yang dibutuhkan oleh masyarakat guna meningkatkan kualitas hidupnya.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Perpusnas memiliki misi untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan hal ini, Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perpustakaan Nasional RI menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpustakaan tersebut, Perpusnas mempunyai empat fungsi utama. Pertama, pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang perpustakaan. Kedua, koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas perpustakaan. Ketiga, pelancaran pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang perpustakaan. Keempat, penyelenggaraan pembinaan dan pelaksanaan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, kearsipan, persandian, serta perlengkapan kerumahtanggaan secara intern.

Adapun visi Perpusnas yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Perpusnas 2000-2004 adalah melakukan pemberdayaan potensi perpus-takaan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan visi ini, Perpusnas menetapkan empat misi. Pertama, membina, mengembangkan, dan mendayagunakan semua jenis perpustakaan. Kedua, membina, mengembangkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat. Ketiga, melestarikan bahan pustaka (karya cetak dan karya rekam) sebagai hasil budaya bangsa. Keempat, menyelenggarakan layanan perpustakaan.

Dari keempat misi tersebut, upaya untuk membina, mengembangkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat merupakan agenda krusial yang sangat penting dan strategis. Hal ini, setidaknya, didasarkan atas dua asumsi. Pertama, keberadaan perpustakaan selama ini seringkali lebih berorientasi pada prosesi internal kelembagaan. Kedua, sementara, dunia pendidikan merupakan andalan pemerintah untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, tampaknya terjebak pada formalisme yang sekadar membangun masyarakat bersekolah. Padahal tantangan kemajuan di masa depan justru harus dijawab dengan mengembangkan bangsa ini sebagai masyarakat belajar (learning society), sekaligus sebagai masyarakat membaca (reading society) yang apresiatif terhadap buku sebagai sumber ilmu.

 Azyumardi Azra (2002) menilai bahwa pendidikan memiliki peran sangat strategis dalam mendukung dan mempercepat pembentukan masyarakat demokratis dan beradab (democratc civility) yang menjadi salah satu karakter terpenting masyarakat madani Indonesia. Menurutnya, tantangan untuk mewujudkan masyarakat madani yang demokratis itu merupakan agenda besar yang tidak dapat dibebankan kepada sekolah dan pendidikan formal semata. Keberhasilannya, bahkan, akan sangat tergantung pada linkage dan network diantara sekolah dan lembaga formal lainnya dengan lembaga-lembaga nonformal serta lembaga informal sebagai basis sosialisasi intelektual dan moral masyarakat secara keseluruhan.

Karena itu, pendidikan nasional yang berorientasi pada nation and character building harus bertumpu pada upaya untuk mempersiapkan individu dan warga masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan, melembagakan, dan mengembangkan masyarakat dengan menjamin kesempatan yang sama (equality) bagi setiap anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat secara demokratis dan profesional, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dalam konteks inilah peran dan kehadiran perpustakaan dengan segala khazanah referensial yang dimilikinya dapat menjadi komplementasi kebutuhan belajar masyarakat secara nyata. 

Melalui perpustakaan, masyarakat dapat mengakses segala kebutuhan informasi melalui sumber pustaka yang tersedia. Namun demikian, kenyataan lain juga menunjukkan bahwa buku sebagai sumber informasi tak lepas dari masalah. Meski diakui bahwa buku merupakan sesuatu yang teramat penting, tapi apresiasi masyarakat kita terhadap buku belum cukup menggembirakan. Menurut Arselan Harahap (1988) paling tidak ada lima masalah yang menyebabkan masyarakat kita jauh dari buku, yaitu harga buku yang mahal, mutu buku yang relatif rendah, peredaran buku yang tidak merata, adanya dampak dari krisis ekonomi serta rendahnya minat baca masyarakat. Deretan persoalan ini bahkan masih bisa diperpanjang lagi dengan masalah kepedulian pemerintah yang dirasa masih rendah. Sementara institusi-institusi lain yang terkait belum memfungsikan diri secara optimal dalam menggalakkan minat baca dan mendekatkan buku kepada masyarakat.

Tengoklah kesaksian para peneliti seperti Eduard JJ M Kimman, pengarang buku Indonesian Publishing (1981) dan Stanley A Barnet et al., dalam laporan Development Book Activities and Needs in Indonesia (1967). Secara ironis mereka sampai pada suatu kesimpulan bahwa data yang tepat tentang industri buku di Indonesia tidak tersedia. Sementara Zubaidah Isa, yang membuat tesis doktoral Printing and Publishing in Indonesia 1607-1979 di Indiana University juga memberikan kesimpulan yang hampir sama. Bahwa sejak merdeka, Indonesia tidak mempunyai kontrol bibliografis yang memadai. Selama ini tidak dibuat secara kontinyu catatan yang sistematis dan akurat tentang penerbitan buku di Indonesia. Adapun daftar buku yang kini diterbitkan oleh Ikapi setiap tahun, terutama lebih sebagai media promosi bagi terbitan penerbit Indonesia daripada catatan sistematis tentang data bibliografis terbitan buku di Indonesia.

Sementara itu, perpustakaan pemerintah dari pusat hingga daerah yang diharapkan berfungsi sebagai basis penyedia buku secara murah bagi masyarakat, tampak cenderung lips service. Keberadaannya lebih sekadar formalitas untuk menunjukkan bahwa pemerintah punya perhatian dalam mengupayakan keperluan buku dan minat baca masyarakat. Sementara berbagai prosedur pelayanan dan sistem pengadaan bukunya masih jauh dari kerangka ideal yang diharapkan. Kenyataan ini sebenarnya telah disadari oleh pihak Perpusnas.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja dan kondisi permasalahan yang dihadapi, Renstra Perpusnas 2000-2004, menginventarisir beberapa kelemahan yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: terbatasnya sumber dana di bidang perpustakaan, kurang memadainya kualitas SDM di bidang perpustakaan, kurang memadainya sarana dan prasarana, belum diberdayakannya secara optimal sistem jaringan informasi perpustakaan, kurang optimalnya promosi perpustakaan, terbatasnya kajian tentang perpustakaan dan minat baca, belum optimalnya koordinasi dan kerjasama di bidang perpustakaan, belum adanya pedoman umum tentang standar pelayanan publik di bidang perpustakaan, serta kurangnya hubungan kerjasama dengan organisasi profesi, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

Selain kelemahan-kelemahan tersebut, Renstra Perpusnas 2000-2004 juga menyebutkan beberapa kendala yang dapat menghambat tercapainya misi dan tujuan Perpusnas. Kendala-kendala tersebut antara lain rendahnya produksi buku, kurangnya partisipasi dan apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan, sehingga perpustakaan belum merupakan suatu kebutuhan, belum optimalnya pemanfaatan perpustakaan, masih rendahnya minat baca masyarakat, relatif kurangnya jumlah perpustakaan, serta kurangnya kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi di bidang perpustakaan.

Berbagai kelemahan dan kendala tersebut sudah selayaknya menjadi perhatian para pustakawan untuk merumuskan agenda dan strategi ke depan sebagai solusi alternatif untuk mengantisipasinya.

 

Agenda dan Strategi ke Depan

Malik Fadjar (1999) memberikan rumusan mengenai tatanan masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan dengan beberapa karakteristiknya. Antara lain,  masyarakat madani yang diwujudkan adalah masyarakat belajar (learning society) yang tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Masyarakat belajar ini menempatkan pendidikan sebagai proses yang berlangsung sepanjang hayat (min al-mahdi ila al-lahdi atau long life education).

Namun demikian, “agenda besar” tersebut hanya akan menjadi harapan semu manakala bangsa kita tidak memiliki apresiasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Disadari bahwa kesejahteraan bangsa bukan lagi bertumpu pada sumber daya alam dan modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual, modal sosial dan kredibilitas keilmuan sehingga tuntutan untuk terus menerus memutakhirkan  pengetahuan menjadi suatu keharusan. Ini merupakan landasan penting yang dapat menjadi dasar pemikiran bagi pengembangan perpustakaan agar mampu memerankan dirinya sebagai sokoguru kegiatan keilmuan. Berikut agenda-agenda dan strategi yang dapat diusulkan untuk pengembangan perpustakaan ke depan.

 

A. Grand Design

Pada dasarnya perpustakaan merupakan lembaga pelayanan publik. Oleh karena itu orientasi kegiatan perpustakaan yang selama ini lebih terfokus pada proses internal kelembagaan perlu diubah menjadi perpustakaan yang berorientasi kepada kebutuhan eksternal (pemakai). Layanan perpustakaan tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dan dilakukan dengan cara yang terbaik sehingga dapat memuaskan masyarakat penggunanya.

Untuk mewujudkan perpustakaan yang berorientasi kepada pemakai, Renstra Perpusnas 2000-2004 telah mengakomodasi sejumlah usulan yang diperlukan dengan bertumpu pada kebijakan yang berorientasi kepada peningkatan produktifitas, efektifitas, dan efisiensi pelayanan perpustakaan sesuai kebutuhan masyarakat; peningkatan minat baca masyarakat melalui layanan perpustakaan; penyusunan, penerbitan, dan pendistribusian pedoman di bidang perpustakaan; peningkatan kualitas layanan perpustakaan; diversifikasi dan promosi layanan perpustakaan.

            Upaya tersebut dapat diimplementasikan dalam sebuah kerangka besar (grand design) yang komprehensif, baik menyangkut konsep maupun langkah-langkah konkret pelaksanaannya.

            Renstra juga telah menginventarisir sejumlah strategi, kebijakan pembinaan dan pengembangan perpustakaan yang antara lain meliputi  diseminasi informasi, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM di bidang perpustakaan, pembinaa dan pengembangan semua jenis perpustakaan, peningkatan minat dan kebiasaan membaca, peningkatan partisipasi dan apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan, peningkatan koordinasi program pembangunan perpustakaan Pusat dan Daerah, pelestarian bahan pustaka hasil budaya bangsa, pengembangan peraturan perundangan di bidang perpustakaan, memacu pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan koleksi serta sarana dan prasarana perpustakaan, pemberdayaaan seluruh potensi sumber daya perpustakaan, peningkatan kualitas dan peran pustakawan, serta peningkatan dan pemanfaatan kerjasama dengan instansi terkait.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana sejumlah rencana ideal tersebut mampu terimplementasikan dalam tataran realitas objektifnya secara konkret. Hal lain yang juga penting adalah bahwa grand design tersebut selayaknya tidak dirancang oleh Perpusnas secara sepihak, namun dibuat secara terrencana dengan pihak-pihak lain seperti Depdiknas, Depdagri, Depag, Kementerian Riset, dan lembaga lainnya secara simultan. Pada proses evaluasi dan monitoring, pelibatan lembaga lain juga penting agar kerjasama yang telah dibangun itu lebih menghasilkan nilai tambah bagi semua pihak secara signifikan.

 

B. Public Campaign

Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa tujuan utama pembangunan perpustakaan adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan informasi melalui pembinaan semua jenis perpustakaan dan pelestarian bahan pustaka hasil budaya bangsa dalam upaya  terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, terampil, kreatif, inovatif, menguasai IPTEK, berakhlak mulia, dan berwawasan kebangsaan.

Salah satu langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk menggalakan apresiasi kepustakaan dan menumbuhkan minat baca masyarakat adalah dengan mengadakan program Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB). Promosi gerakan ini bahkan telah didukung secara langsung dengan “Deklarasi Pencanangan Gerakan Membaca Nasional” pada tanggal 12 November 2003 saat Megawati menjadi presiden. Namun demikian, deklarasi yang ditandatangani Mendiknas Malik Fadjar, Kepala Perpusnas Dady P. Rachmananta, dan Mendagri Hari Sabarno kini nyaris tak terdengar, bahkan tenggelam seiring pergantian rezim di negeri ini. Padahal, semangat belajar dan minat baca masyarakat harus senantiasa terjaga. Ia tak semestinya lekang oleh cuaca politik dan tergilas roda zaman.  

Semangat belajar dan minat baca masyarakat harus terus dikampanyekan sehingga mampu membuka ruang kesadaran masyarakat agar mampu memfungsikan perpustakaan sebagaimana simbolisasinya: “laksana buku terbuka, nyala obor, dan dua tangan terkatup dengan lima jari menopang”. Ini merupakan bagian dari simbol perpustakaan yang melambangkan sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang, menjadi pelita dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melukiskan dinamika ilmu pengetahuan baru yang dapat dicapai melalui pembinaan pendidikan seutuhnya dengan ditunjang oleh sarana pustaka yang lengkap.

 

C. Rethinking

Di tengah berbagai persoalan yang menghantui dunia perpustakaan, dunia saiber pun terus memuntahkan situs-situs baru dengan ragam informasi yang mencengangkan. Sementara itu, kita masih bergelayut dengan persoalan-persoalan yang tak kunjung usai: minimnya sarana, rendahnya kualitas SDM perpustakaan, rendahnya minat baca, tingginya pajak buku, harga kertas, dan persoalan pelik lainnya. Mampukah perpustakaan tertahankan jatidirinya sebagai ‘jendela dunia’ di tengah hingar-bingarnya cyberspace dan cybermedia?

Agaknya, kita harus mulai melakukan rethinking, menafsir ulang pemaknaan perpustakaan dalam hidup dan kehidupan kita. Bahwa buku tak harus identik dengan kertas. Melalui CD-ROM yang lebih sederhana, lebih ekonomis, dan lebih ramah lingkungan kita pun dapat menyaksikan ‘jendela dunia’ yang sama. Demikian pula internet yang menawarkan halaman luas tak berbatas. Seperti halnya buku, ia adalah jendela dunia yang termodifikasi lewat teknologi informasi.

Sebagai contoh, tengoklah situs Project Gutternberg di (http://www. guttenberg.org).  Di sini ribuan buku dapat diakses secara gratis melalui browser internet. Masih banyak situs lainnya yang menawarkan hal yang sama. Fenomena ini tentu harus menggugah kesadaran kita --terutama pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam dunia perbukuan-- akan pentingnya membuat terobosan yang sinergis dan kontekstual sesuai tantangan zamannya.

Perlu disadari, abad cybermedia kini ibarat pisau bermata dua. Ia dapat saja menjadi sumber bencana bagi dunia perbukuan, tapi lebih mungkin membawa hikmah yang tak ternilai. Ia datang membawa ancaman, tapi sekaligus memberi peluang. Persoalannya kemudian berpulang pada kemampuan, kearifan, kesiapan, dan kesediaan kita dalam memaknai berbagai perubahan selama ini. Bagaimana kita mampu mengubah sejumlah kendala menjadi peluang, mendefinisikan ancaman sebagai hikmah yang terpendam.

Kini, sudah saatnya kita turut merebut peluang dari kemudahan teknologi informasi itu. Berbagai terobosan dapat diupayakan untuk memperkuat basis peran Perpusnas saat ini. Pembuatan buku digital, konversi naskah dari buku-buku manual ke versi elektrik serta pembuatan digital net-library merupakan contoh agenda yang dapat dipersiapkan.

Dengan berbagai terobosan strategis seperti itu, perpustakaan –apa pun bentuknya, manual atau digital— akan tetap merupakan sumber informasi yang utama. Ia ibarat jendela dunia, tempat mengintip hidup dan kehidupan manusia.  Lewat perpustakaan kita dapat menyibak masa silam sekaligus menyusuri cakrawala masa depan yang penuh dengan hamparan kemungkinan.

***

KEMISKINAN, PEMISKINAN, DAN DEMOKRATISASI

Oleh: Sofian Munawar Asgart[1]

         “Ketiadaan demokrasi adalah akar kemiskinan yang sejati”.

(Amartya Sen) 

Terminologi Kemiskinan

Istilah kemiskinan tentu sudah tidak asing lagi, tetapi jawaban atas pertanyaan apa itu kemiskinan masih multi-interpretable.  Secara sangat sederhana, Levitan mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.[2] Sementara itu, Bappenas merumuskan kemiskinan ini sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari oleh si miskin, serta tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.  Hal ini tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya pendapatan dan terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.[3]

Uraian tersebut secara simpikatif memperlihatkan dua cara pandang dalam menyoroti fenomena kemiskinan. Pandangan pertama melihat kemiskinan sebagai suatu proses, sedangkan pandangan kedua melihat kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil.  Pandangan ini melahirkan konsep tentang kemiskinan relatif yang sering dikenal dengan sebutan kemiskinan struktural. Sebaliknya, pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan absolut.

Walaupun secara sepintas ada perbedaan pandangan tentang definisi kemiskinan, tetapi jika dikaji hubungan sebab akibat dari kemiskinan itu, maka dapat disimpulkan bahwa kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan. Jika di dalam suatu masyarakat terjadi ketidakadilan dalam pembagian kekayaan, maka sebagian anggota masyarakat yang posisinya lemah akan menerima bagian kekayaan terkecil.  Kerena itu golongan yang lemah ini akan menjadi miskin. Sebaliknya jika sebagian anggota masyarakat itu miskin, maka golongan ini akan mempunyai posisi yang lemah dalam penentuan pembagian kekayaan di dalam masyarakat  tersebut.  Secara diagramatis hubungan sebab akibat antara masyarakat yang lemah (secara relatif) dan yang miskin (secara absolut) ini dapat divisualisasikan sebagai berikut:

  Karena itu, saat ini konsep kemiskinan yang digunakan tidak hanya menghitung kemiskinan absolut saja, melainkan juga memperhitungkan kemiskinan relatif. Fokus kemiskinan relatif lebih menyoroti pada proses pemiskinan dan sebab-sebab kemiskinan. Dari perspektif ini kemiskinan dipahami sebagai perampasan kapabilitas dan akses. Posisi yang diambil dengan sudut pandang kemiskinan struktural mencakup lima dimensi pokok, yaitu: pola hubungan kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya, dan dimensi lingkungan fisik.

Dalam hubungan itu, temuan lapangan yang dilaporkan Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menunjukkan bahwa justru fakta akan proses pemiskinan dan kemiskinan struktural adalah hal yang paling mendominasi realitas persoalan yang sebenarnya.[4] Sayangnya, menurut HS. Dillon, orientasi pembangunan di Indonesia masih terlalu “economic minded” sehingga penanganan terhadap kemiskinan (poverty alleviation strategy) bersifat parsial. Kesemuanya adalah konsekuensi dari pilihan orientasi pembangunan yang  menitikberatkan pertumbuhan ekonomi sehingga pembangunan hanya digerakkan oleh dan bagi para pemilik modal bercorak kapitalistik, sementara peran rakyat sekadar menjadi penyokong pembangunan semata.[5] Bahkan, dalam pandangan agrarian populist, seperti pernah diungkapkan sosiolog Loekman Soetrisno, justru negara-lah penyebab utama kemiskinan.[6]

Harus disadari bahwa kemiskinan adalah masalah yang kronis dan kompleks.  Karena itu, dalam menanggulangi kemiskinan, permasalahan yang dihadapi bukan hanya terbatas hal-hal yang menyangkut pemahaman hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan, melainkan juga melibatkan preferensi, nilai, dan politik.  Hadiwigeno dan Pakpahan mengingatkan bahwa kemiskinan selalu berada dalam konteks sosial, maka interdepensi antarindividu atau antargolongan masyarakat merupakan karakteristik intern.  Karena itu pula untuk menanggulangi kemiskinan, tidak terbatas pada masalah peningkatan produktivitas, tetapi lebih penting lagi menyangkut permasalahan perubahan dalam entitlement. Baik terhadap sumber daya dalam arti fisik maupun dalam arti kesempatan untuk memperoleh share dari aliran manfaat.[7] Kemiskinan juga merupakan akibat dari proses eksklusi dan peminggiran yang menyebabkan hilangnya partisipasi, keterpurukan, dan pada akhirnya menghilangkan akuntabilitas. Karena itu, kemiskinan tidak hanya merupakan akibat deprivasi kapabilitas, tapi juga karena masalah hubungan kekuasaan (power relationship) diantara masyarakat dan negara maupun antara masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.[8]

Namun demikian, kekonyolan yang sering kita lakukan adalah bersikap terlalu optimis terhadap trend pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya parameter yang absah untuk mengukur keberhasilan pengentasan kemiskinan. Benarlah dugaan Amartya Sen bahwa penyebab kegagalan kita dalam menangani kemiskinan selama ini seringkali disebabkan antara lain karena kegagalan kita dalam memahami kemiskinan itu sendiri. Kekeliruan dalam memahami masalah kemiskinan, bahkan, tidak saja akan mengakibatkan program penanggulangan kemiskinan kurang mendasar, tapi juga menjadi tidak tepat sasaran.

Dalam perspektif yang lebih makro, pemiskinan juga dapat dilihat sebagai grand design kaum kapitalis dan “mafia” neoliberal dimana negara-negara miskin menjadi objek utamanya. Aktivis debtWach, Arimbi Heroepoetri menduga bahwa proses pemiskinan global ini terjadi karena lemahnya regulasi yang dimiliki negara-negara miskin.[9] Dengan begitu, mesin uang globalisasi yang terdiri dari kelompok Bank Dunia (IBRD, IFC, GIGA, ICSID), Kelompok TNCs/MNCs, dan lembaga multilateral lainnya dengan mudahnya menjebak negara-negara miskin melalui resep neoliberalisme yang manjur: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Dengan resep ini maka terjadilah monopoli di berbagai sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Keuntungannya tentu saja hanya dinikmati para kapitalis, sementara rakyat miskin di berbagai belahan dunia terus-menerus menjadi sapi perahan. 

Fenomena Pemiskinan Global

Sidang Umum PBB direncanakan akan secara khusus membicarakan persoalan kemiskinan di penghujung September 2005. Agenda sidang ini juga akan mengevaluasi program Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah dicanangkan sejak tahun 2000. Inti dari MDGs adalah komitmen masyarakat dunia untuk melakukan upaya pengentasan kemiskinan secara bersama-sama. Target utama program ini adalah bahwa pada tahun 2015 dunia harus terbebas dari kemiskinan. Akankah misi ini tercapai di tengah iklim global yang kian carut-marut ini ?

Kini dunia ibarat sebuah kampung! Masihkah negara berperan mengayomi rakyatnya ketika dominasi modal-global berhasil menancapkan kuku-kukunya? Bersamaan dengan krisis keuangan di negara-negara “Dunia Ketiga”, paham neoliberalisme dengan sadar didesakkan menjadi kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti IMF, Word Bank, dan WTO. Pasar bebas kemudian diciptakan menjadi perangkap untuk menerkam negara-negara miskin dengan lilitan dan jebakan utang yang secara sengaja diciptakannya. Pasar bebas memang bukan sebuah konsep netral, tapi lebih merupakan wajah lain dari kapitalisme dimana globalisasi diideologisasi menjadi kredonya.

Elizabeth Martinez dan Arnold Garcia mencatat beberapa poin penting yang menjadi karakter utama neoliberalisme.[10] Pertama, mekanisme pasar bebas dimana perusahaan-perusahaan swasta dibebaskan dari segenap keterikatan dan intervensi pemerintah. Mekanisme ini pada akhirnya akan menghilangkan kontrol negara terhadap mekanisme pasar sehingga harga sepenuhnya didasarkan atas kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa. Kedua, mereduksi pengeluaran negara, terutama anggaran publik dalam hal pelayanan sosial, seperti subsidi pendidikan, kesehatan, jaringan pengaman sosial, subsidi BBM, dan lain-lain. Ketiga, melakukan deregulasi dengan menekan peraturan-peraturan pemerintah agar menguntungkan kalangan pengusaha. Keempat, privatisasi dalam bentuk penjualan aset-aset publik seperti BUMN kepada investor swasta. Termasuk aset-aset strategis seperti bank, listrik, jalan tol, rumah sakit, dan bahkan barang yang menjadi public goods seperti air minum. Kelima, sebagai konsekuensinya, rakyat kehilangan akses terhadap barang publik yang sesungguhnya merupakan hak-milik komunitas.

Dengan skema kebijakan seperti itu, aktivis ICRP Trisno S. Sutanto menilai arus globalisasi neo-liberal merupakan perluasan kekuasaan segelintir pemodal yang mau mencaplok seluruh pelosok dunia di bawah kendali mereka. “Fenomena globalisasi yang sangat kompleks itu merupakan penciptaan kampung global tetapi sekaligus juga penjarahan secara global,” ungkapnya.[11] Menurut aktivis HAM Asmara Nababan, pengabdian negara pada kepentingan modal-global bahkan akan memicu kekerasan modal (capital violence) yang menindas rakyat dengan menjadikan ‘pembangunan’ sebagai kedoknya.[12] Padahal, konsep pembangunan yang hanya bertopang pada pertumbuhan ekonomi harus segera direvisi. Pembangunan harus diorientasikan pada pemajuan manusia yang dilakukan untuk memastikan bahwa ia dapat hidup dalam standar minimum yang ditetapkan. Sejalan dengan ini, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia harus ditempatkan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, negara dapat memastikan bahwa setiap warganya dapat menikmati pemenuhan hak-hak asasinya –baik hak-hak sipil-politik maupun hak-hak ekonomi-sosial-budaya— demi peningkatan kualitas hidupnya.

Namun, ironisnya, pemerintah Indonesia yang ‘mengaku-aku’ sebagai pengikut paham welfare state justru terjerembab ke dalam lumpur ekonomi neoliberalisme yang amat dalam. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), misalnya, merupakan contoh vulgar dimana skandal keuangan yang disarankan IMF itu telah merampas sejumput harapan dan mengusik rasa keadilan masyarakat serta mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya lebih layak diterima masyarakat kecil. Aktivis KIKIS, Andik Hardiyanto, menilai bahwa lemahnya posisi Indonesia terhadap IMF telah mendorong pemerintah untuk mempercepat proses liberalisasi perdagangan di sektor pertanian. Kebijakan liberalisasi sektor pertanian tampak antara lain pada pencabutan berbagai subsidi untuk petani yang berakibat pada lemahnya kinerja petani yang pada gilirannya juga mengakibatkan peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor.[13]

Senada dengan itu, aktivis BINA DESA, Syaiful Bahari, menilai fenomena tersebut sebagai bentuk kekonyolan pemerintah. Memang yang diharapkan kapitalisme global adalah berkurangnya peran negara, melemahkan peran negara agar mereka bisa menguasai perekonomian. Sementara negara hanya diperlukan keberadaannya sebatas menjadi backing pengusaha semata. Menurutnya, pemerintah tidak punya keberanian untuk memberikan proteksi terhadap kepentingan masyarakat. Padahal, salah satu tugas negara adalah melindungi rakyatnya dari intervensi asing. Namun yang terjadi sekarang justru sebaliknya, semua diprivatisasi, semua diliberalisasi.  “Kalau semua diprivatisasi, kalau semua diliberalisasi, buat apa ada negara?  buat apa ada pemerintah ? Kita bubarin saja negara!,” tukasnya.[14]

Kerisauan Syaiful Bahari patut dimengerti karena terbukti banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa pemerintah lebih peduli pada kepentingan pemodal dari pada kepentingan rakyat. Kasus Buyat, misalnya, merupakan contoh nyata dimana kepentingan rakyat dikorbankan atas nama investasi dan kalkulasi ekonomi. Direktur SERAT Manado, Reiner Ointoe menilai bahwa PT Newmont Minahasa telah melakukan kontrak karya yang sama sekali tidak memihak rakyat. Kontraknya dibuat dengan Pemerintah Pusat dengan landasan UU Pertambangan yang sangat sentralistik. Masyarakat lokal tidak ikut dilibatkan dalam kontrak karya itu. Rakyat hanya ditipu dan menjadi korban penambangan yang mencemarkan lingkungan hidup itu.[15]

Menurutnya, memang ada semacam corporate social responsibility yang dilakukan PT Newmont, seperti pembangunan puskesmas, tapi itu kecil sekali dan tidak sebanding dengan sejumlah kerugian yang diderita rakyat atas rusaknya lingkungan akibat ‘penambangan berkelanjutan’ itu. Bahkan, selain kerugian lingkungan, PT Newmont juga telah memancing terjadinya konflik horisontal diantara masyarakat. Kerugian sosial-kultural ini muncul karena PT Newmont telah menciptakan “kelas masyarakat” dengan memanjakan sebagian kecil masyarakat untuk ‘diadu-domba’ dengan sebagian masyarakat lainnya yang menentang kehadiran PT Newmont.

Sayangnya, kalangan LSM cuma mengadvokasi persoalan di ujungnya saja. Mereka cenderung hanya mengadvokasi persoalan kesehatan dengan munculnya penyakit Minamata, padahal persoalannya jauh lebih besar dari itu. Persoalan yang lebih mendasar adalah perlu adanya gugatan soal kontrak karya dan gugatan atas kerugian lain yang diderita masyarakat akibat beroperasinya PT Newmont. Namun yang terjadi justru makin pelik karena sebagian masyarakat, LSM, wartawan, dan kalangan kampus pun sudah banyak yang bisa “dibeli” untuk mendukung PT Newmont. “Ujung-ujungnya, masyarakat kecil juga yang dirugikan karena mereka menjadi korban dari segala pertikaian yang terjadi,” ujar Reiner menambahkan.[16]

Hal serupa terjadi dalam kasus privatisasi air. Dalam laporannya mengenai Kerangka Kebijakan Sektor Air Perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework) Word Bank telah merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) diswastanisasi. Ide awalnya memang untuk efisiensi, tapi kenyataannya justru air semakin mahal dan akses masyarakat terhadap air juga makin sulit. Padahal, hak terhadap air yang setara merupakan  bagian dari hak asasi setiap manusia. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 secara tegas telah menjamin hak dasar tersebut.  Pasal 33 ayat 2 tersebut menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Ini mengandung makna tanggung jawab negara untuk menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Aktivis WALHI, Edang Ridha Saleh menilai bahwa hingga kini, hak atas air bagi setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi air di Indonesia.  Agenda privatisasi ini didorong oleh lembaga keuangan dunia (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumberdaya Air yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program Water Restructuring Adjustment Loan (WATSAL) dari World Bank. “Ini sebenarnya merupakan model  kolonialisme baru yang perlu kita lawan,” ujarnya.[17] 

Senada dengan itu, aktivis Masyarakat Bantuan Hukum (MBH) Surabaya, Herlambang Perdana, menilai persoalan privatisasi air sarat dengan kepentingan para kapitalis global. Menurutnya, bisnis air yang sering disebut sebagai blue gold  itu telah menjadi incaran perusahaan multinasional (multinational corporate). Karena itu ia heran, kenapa para wakil rakyat di DPR pada tanggal 19 Februari 2004 yang lalu begitu mudahnya  mengesahkan UU Sumberdaya Air yang jelas-jelas merugikan rakyat. “Padahal, dalam proses pembuatan perundangan, DPR harus lebih utama mengakomodasi harapan publik. Tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. DPR malah main-mata sama pemilik modal untuk menggolkan peraturan perundangan,” ujarnya.[18] Lebih tragis lagi, di tengah berbagai keprihatinan yang melanda bangsa ini, para wakil rakyat malah “asyik-masyuk” dengan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Mereka tidak malu-malu meminta kenaikan gaji, sementara rakyat didera busung lapar dan kerawanan pangan.

Sinyalemen tersebut sesuai dengan temuan Riset Demos yang menunjukkan bahwa kualitas keterwakilan memperlihatkan angka yang buruk.[19] Dalam hubungannya dengan Parpol dan lembaga legislatif, kualitas keterwakilan itu dapat disimak pada tebel-1 berikut:

 

 

No

 

Hak dan Institusi (H/I) Demokrasi

Kualitas H/I Demokrasi (%)

Kualitas H/I

After 1999 (%)

Baik

Buruk

[+]

[-]

[=]

1

Penyelenggaraan Pemilu yang bebas dan jujur serta mekanisme pemilihan yang transparan

 

39.9

 

60.1

 

49.7

 

13.4

 

36.9

2

Kebebasan membentuk partai, merekrut anggota dan mengkampanyekan calon-calon untuk menduduki kekuasaan pemerintah

 

78.2

 

21.8

 

73.6

 

7.4

 

19.0

3

Sikap partai-partai terhadap isu-isu dan kepentingan vital di dalam masyarakat

9.9

90.1

12.5

31.0

56.5

4

Indepedensi partai-partai dari kepentingan etnis dan agama

30.6

69.4

24.3

24.9

50.8

5

Indepedensi partai-partai dari politik uang dan kekuasaan

4.7

95.3

6.1

53.9

40.1

6

Kapasitas kontrol anggota partai dan akuntabilitas partai kepada konstituennya

13.8

86.2

17.4

26.8

55.8

7

Kemampuan partai untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan

8.3

91.7

13.1

42.8

44.2

Sumber: Riset DEMOS Putaran 1 dan 2 (2003-2004), data diolah

Dari tujuh aspek keterwakilan yang menjadi parameter kualitas H/I demokrasi itu, hanya pada aspek kedua saja yang kualitasnya baik. Sementara keenam aspek keterwakilan lainnya menunjukkan kualitas yang amat buruk. Demikian pula perkembangannya setelah tahun 1999 secara umum menunjukkan bahwa kualitas keterwakilan cenderung memburuk atau sama saja dari perkembangan sebelumnya. Karena itu, masalah keterwakilan bukan hanya tidak memadai tetapi juga benar-benar terterlantarkan.

Persoalan keterwakilan tidak saja menjadi masalah pada level legislatif, namun juga pada ranah eksekutif. Direktur Walhi, Longgena Ginting menilai bahwa sistem politik nasional di Indonesia sudah terlanjur mengarah ke pseudo representatifness atau keterwakilan semu.[20] Ini merupakan model keterwakilan yang seringkali disalahgunakan secara salah-kaprah oleh pemerintah. Contohnya, jika suatu proyek sudah mendapat restu atau izin dari Bupati, Gubernur, atau Presiden, misalnya, maka otomatis itu sudah dianggap disetujui rakyat. Padahal, jangankan Gubernur atau Bupati, Camat atau Kepala Desa sekalipun belum tentu mewakili rakyat. Praktek representatifness yang salah-kaprah ini banyak terjadi sekarang, terutama di daerah-daerah dimana pemberian izin pengelolaan sumberdaya alam, seperti konsesi pertambangan dan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diobral Pemda untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Model representasi yang dikembangkan pemerintah seperti ini jelas-jelas memperalat sekaligus memelaratkan rakyat.

Seperti halnya Parpol dan lembaga legislatif, lembaga eksekutif juga memiliki kualitas yang buruk dalam hal  keterwakilan. Demikian pula dalam hal good corporate governance dan business regulation in public kita memperlihatkan angka yang amat buruk. Selain itu, kebebasan pemerintah dari campur tangan pihak asing pun kondisinya setali tiga uang. Kinerja pemerintah, bahkan diperparah lagi dengan ketidakberdayaannya melawan praktek-praktek korupsi, mafia, dan bentuk-bentuk premanisme yang secara inhern menjelma dalam koalisi abadi pengusaha-penguasa untuk menyingkirkan rakyat sebagai kaum pinggiran. Fenomena ini dapat disimak pada tabel-2 berikut:

 

 

No

 

Hak dan Institusi (H/I) Demokrasi

Kualitas H/I Demokrasi (%)

Kualitas H/I

after 1999 (%)

Baik

Buruk

[+]

[-]

[=]

1

Subordination of govt and public officials to the rule of law

6,6

93,4

9,9

51,9

37,7

2

Good corp governance and business regulation in public

16,2

82,6

14,4

55,9

27,9

3

Govt's freedom from external subordination

16,0

82,9

13,2

54,0

31,5

4

Freedom from and struggle against other forms of corruption

10,0

89,6

11,5

52,6

35,1

5

Govt's freedom from and struggle against militias and mafias

13,2

86,2

13,2

50,9

35,0

Sumber: Riset DEMOS Putaran 1 dan 2 (2003-2004), data diolah

 

Daftar keprihatinan rakyat itu tentu dapat diperpanjang lagi dengan sejumlah kasus yang tak kalah getir dan menyedihkan. Evaluasi kinerja pembangunan yang dilakukan JARI Indonesia, misalnya,  menunjukkan dengan jelas betapa negara telah gagal dalam memenuhi hak-hak dasar rakyat.[21] Bahwa dominasi modal dengan ideologi pasar bebas dan ditopang ‘jampi-jampi’ globalisasi telah dengan sempurna merenggut kedaulatan rakyat. Sementara negara sebagai lembaga yang semestinya mengayomi dan melindungi segenap kepentingan warganya malah tak segan-segan menjadi mucikari yang menjajakan anaknya sendiri.

 

Demokrasi sebuah Jawaban

Harian Kompas dalam rubrik Fokus[22] membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini. Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu!. Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan, dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah.

Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005.[23] Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.

Strategi pembangunan yang ‘konservatif’ tersebut juga berimplikasi pada pilihan strategi penanganan kemiskinan yang konservatif pula. Meskipun Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) telah ‘berhasil’ merumuskan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPKN), namun dalam tataran implementasinya tidak cukup signifikan menangani persoalan. Ini antara lain karena tidak sinkronya titik pandang dan dasar pijak yang dipakai. Pendekatan pertumbuhan dalam pengurangan kemiskinan, misalnya, masih begitu diandalkan pemerintah. Padahal, penyebab utama kemiskinan bukan karena kurangnya pendapatan, tetapi yang terutama karena pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia serta ketidak-mampuan negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak demokratis warganya.

Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi (1998) ini secara progresif mencoba mengangkat isu demokrasi sebagai konsep yang solutif dalam memahami masalah kemiskinan. Ekonom asal India ini berpendapat bahwa kekurangan secara ekonomis bukanlah satu-satunya jenis kemiskinan yang merapuhkan kehidupan manusia, karena kehidupan manusia dimiskinkan dalam berbagai cara yang berbeda. Menurut Sen, ukuran kemiskinan senantiasa jauh melewati batas-batas dimensi ekonomi, karena dalam kemiskinan ekonomi selalu melekat secara inheren kemiskinan secara total; miskin pendidikan, kesehatan, bahkan miskin secara politik.[24] Sen mengkritik para ekonom yang melihat gelombang krisis yang menghantam negara-negara Asia belakangan ini dilihat semata karena sebuah kegagalan dalam mengantisipasi karakter arus modal, yang ternyata terkait dengan sistem ekonomi dan politik. Menurutnya, krisis ekonomi di Asia, termasuk di Indonesia, muncul dan berkembang karena negara-negara tersebut telah mengabaikan demokrasi. Sen, bahkan, sampai pada suatu kesimpulan bahwa ketiadaan demokrasi yang sering melahirkan ketidakadilan adalah akar dari semua bentuk kemiskinan.

Dalam konteks Indonesia, Sen memberikan analisisnya bahwa krisis yang terjadi sangat terkait dengan terabaikannya keterbukaan dan demokrasi. Selama ini, Indonesia dianggap telah gagal membangun "keamanan perlindungan demokrasi" maupun "jaminan keterbukaan" yang merupakan dua bentuk kebebasan sebagai sarana utama pembangunan. Ketiadaan keamanan perlindungan demokrasi telah membuat rakyat sebagai korban krisis ekonomi tidak memiliki sarana untuk menyalurkan suara dalam proses pengambilan keputusan (voiceless). [25] Padahal, partisipasi publik merupakan salah satu pilar penting yang dapat mendorong terciptanya good governance. Sherry Arnstein menyebutkan bahwa kontrol warga (citizen control) merupakan tingkat tertinggi partisipasi publik dimana rakyat memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.[26]

Karena itu, proses demokratisasi merupakan agenda strategis yang harus diperjuangkan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam hubungan ini, Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menawarkan empat pilar demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan. Disadari bahwa strategi penanggulangan kemiskinan saat ini membutuhkan perubahan sistem dan struktur secara mendasar dan secara jangka panjang mampu membebaskan si miskin dari jebakan proses pemiskinan. Karena itu, empat pilar demokratisasi yang ditawarkan GAPRI didasarkan pada penegasan pendekatan berbasis hak-hak (rights base approach) si miskin dan sekaligus penegasan kewajiban negara (state obligation) serta donor untuk menjamin dan melindungi hak-hak si miskin.[27] Keempat pilar demokratisasi untuk melawan kemiskinan dan pemiskinan itu adalah:

 

1. Restrukturisasi Relasi Politik

Harus disadari bahwa relasi-kuasa dalam sistem politik kita berjalan secara timpang. Agar demokrasi berjalan secara substantif maka menjadi penting untuk dilakukan penataan ulang relasi politik sehingga sistem dan kelembagaan politik yang ada benar-benar dirancang dan disediakan secara bertanggung jawab untuk memecahkan persoalan  yang menjadi kebutuhan publik. Dengan begitu, maka pendekatan penanggulangan kemiskinan haruslah menjadi kewajiban hukum (legal obligation) dari negara.

 

2. Redistribusi Kekayaan

Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya redistribusi kekayaan, namun yang paling utama menyangkut tiga hal, yaitu: pembaruan agraria, pajak dan pembuatan anggaran yang pro-rakyat, serta pendidikan dan kesehatan yang memadai. Ketiga hal utama ini merupakan wilayah penting bagi redistribusi kekayaan secara lebih berkeadilan.

 

3. Reorientasi Pengelolaan Ekonomi: Menuju Ekonomi Kerakyatan

Tujuan ekonomi kerakyatan adalah memandirikan ekonomi nasional, membuka kesempatan ekonomi bagi semua rakyat secara terbuka dan adil, perimbangan pengelolaan keuangan negara, baik dalam konteks antara usaha kecil, menengah dan besar, maupun antara pusat dan daerah, menghapuskan ketimpangan pemilikan aset negara, termasuk kredit perbankan, memperkuat peranan negara dalam mengendalikan atau mengatur pasar (governing the market). Upaya ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat agar memiliki akses sebesar-besarnya sehingga memungkinkan mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan.

 

4. Reformasi Fundamental Peran Donor dan Perusahaan TNCs/MNCs

Reformasi fundamental atas peran TNCs/MNCs perlu dilakukan dengan menekankan hubungan yang setara, menekankan pembangunan dan yang berorientasi pada penghormatan hak asasi manusia. Selain itu, operasi  TNCs dan MNCs yang seringkali memanfaatkan posisi negara-negara dan badan donor juga harus didesak untuk melakukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar orang miskin sebagai suatu kewajiban hukum (legal obligation) dari pihak swasta/modal.

 

Jurus yang dikemukakan GAPRI tersebut memang cukup kontekstual dan strategis. Namun demikian, pendekatan yang teramat politis itu tampaknya tidak cukup ‘populis’ dan bahkan sering disangsikan keandalannya dalam mengentaskan kemiskinan. Benarkah pemenuhan hak-hak sipil-politik –selain juga hak-hak ekonomi-sosial-budaya— seperti itu memiliki korelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat ? Rakyat sepertinya banyak yang apatis untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Namun agaknya, kita perlu belajar dari pengalaman Porto Alegre yang telah menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat secara proaktif dan partisipatif dalam pengambilan kebijakan publik terbukti mampu menekan kemiskinan secara signifikan.

Kemenangan Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) di Porto Alegre sangat mengejetkan. Kekagetan ini bukan saja dikarenakan pemimpin Partai Buruh itu berasal dari kalangan rakyat miskin, tapi juga karena lawan politiknya saat itu sebetulnya masih sangat powerfull. Lalu apa resepnya ? Partai Buruh saat itu mengusung metode penentuan anggaran publik secara partisipatif. Dengan konsep ini, warga benar-benar  dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama mengenai pengelolaan anggaran publik. Ini merupakan koreksi serius atas pendekatan sebelumnya yang memutuskan sesuatu tanpa pelibatan publik secara luas.

Lalu bagaimana hasilnya ? Laporan Majalah TEMPO[28] menuturkan hasil penelitian PMPA-GAPLAN yang menunjukkan bahwa sejak kemenangan Partai Buruh itu terjadi peningkatan jumlah anggran lebih dari 300 persen untuk sektor perumahan di Porto Alegre. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa hampir seluruh penduduk memperoleh air bersih, sementara jumlah anak sekolah yang mampu melanjutkan ke perguruan tinggi berlipat ganda jumlahnya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi di DKI Jakarta. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggran (Fitra) menunjukkan bahwa RAPBD DKI 2005 justru mengusulkan anggaran Rp 23,1 miliar untuk penggusuran. Perbedaan yang mencolok ini memperlihatkan pada kita bahwa demokrasi prosedural yang sejauh ini diterapkan di Indonesia hanya berhasil menjamin kebebasan sipil, akan tetapi belum menyentuh hak-hak dasar lain seperti hak atas pendidikan, kesehatan, tempat tinggal yang layak, maupun pekerjaan.

Pelajaran yang dapat dipetik dari Porto Alegre adalah bagaimana Partai Buruh sebagai partai yang berkuasa berhasil menggunakan kekuasaan otoritatif mereka untuk memulai adanya perubahan mendasar pada karakter kebijakan pemerintahan lokal. Lokus kekuasaan tidak lagi berpusat pada pemerintah, akan tetapi terbagi pada warga.[29] Hal ini terjadi karena dinamika kelembagaan dan kapasitas aktor prodemokrasi mampu mengembangkan gerakan berbasis massa secara nyata serta mampu mengimplementasikan hak-hak dan institusi demokrasi secara berarti.

Eksperimentasi demokrasi seperti itu bukanlah sesuatu yang mustahil dilakukan di Indonesia. Persoalannya tentu akan berpulang pada kesiapan dan kemampuan para aktor prodemokrasi dalam mentransformasikan hak-hak dan institusi demokrasi secara substantif dan implementatif. Karena itu, proses demokratisasi secara substansial sudah semestinya terus digulirkan.[30] Agenda demokratisasi seharusnya menjadi demikian penting bukan saja atas pertimbangan political entirely, namun seperti diungkapkan Amartya Sen bahwa ketiadaan demokrasi merupakan akar kemiskinan yang sejati. Karena itu pula demokratisasi  merupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dengan cara inilah kemiskinan di negeri ini dapat dienyahkan.***

 



[1] Penulis adalah Peneliti DEMOS, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi.

        [2] Levitan, Sar A., (1980). Program in Aid of the Poor for the 1980’s. Policy Studies in Employment and Welfare,   the Johns Hopkins University Press, London.

[3] Bappenass dan Depdagri (1993). Panduan Program Inpres Desa Tertinggal, Bappenas, Jakarta.

[4] Lebih rinci dapat disimak dalam Jurnal KIKIS Vol.1/2004.

[5] HS. Dillon (2003) “Prolog” dalam Empat Pilar Demokratisasi untuk Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan”, GAPRI, Jakarta.

[6] Prisma No.10 Tahun 1995.

[7] Hadiwigeno S., dan Pakpahan (1993). “Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia”, Prisma, Jakarta.

[8] Yohanes da Masenus Arus. “Membedah Kemiskinan dengan Kaca Mata Hak, Beberapa Catatan Kritis Terhadap SNPK”. dalam Rusdi Tagora at., all., (2005) Review SNPK Proses dan Substansi, Terbitan bersama GAPRI, KIKIS, dan INFID.

[9] Arimbi HP (2005). “Konspirasi Mafia dan Kompradornya dalam Skenario Pemiskinan Global,” Disampaikan dalam seminar ICRP mengenai “Ekonomi Berkeadilan, Agama-agama dan Tantangan Globalisasi: Tanggapan, Kritik dan Komentar,” di Wisma Antara, Jakarta: Rabu 30 Maret 2005.

[10] Elizabeth Martinez and Arnoldo GarciaWat is 'Neolibralisme?” dalam http://squat.net/caravan/ICC-nl/globalisation-nl/neoliberalisme-nl.htm.

[11] Disampaikan dalam seminar ICRP mengenai “Ekonomi Berkeadilan, Agama-agama dan Tantangan Globalisasi: Tanggapan, Kritik dan Komentar,” di Wisma Antara, Jakarta: Rabu 30 Maret 2005.

[12] Asmara Nababan (2004) “Tanpa Penghormatan dan Akuntabilitas Hak Asasi Manusia, Investasi Modal Adalah sebuah Kehancuran” dalam Menolak Menjadi Miskin: Gerakan Rakyat Porsea Melawan Konspirasi Gurita Indorayon, Bakumsu, Medan.

[13] Andik Hardiyanto (2004) “Land Reform dan Kemiskinan Petani” dalam Daulat Rakyat Dasar Kebijakan Anti Pemiskinan, GAPRI, Jakarta.

[14] Wawancara dengan Syaiful Bahari, Jakarta: 17 Mei 2004.        

[15] Wawancara dengan Reiner Ointoe, Jakarta: 21 April 2005.

[16] Ibid.

[17] Wawancara dengan Edang Ridha Saleh, Jakarta: 18 Mei 2004.

[18] Wawancara dengan Herlambang Perdana, Jakarta: 13 Mei 2004.

[19] Simak hasil penelitian Demos (2004) mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia.

[20] Wawancara dengan Longgena Ginting, Jakarta:14 Mei 2005. Saat wawancara dilakukan, Longgena Ginting masih menjabat sebagai Direktur Eksekutif WALHI.

[21] Ulasan lebih rinci mengenai hal ini dapat disimak dalam Arimbi HP at. all. (2003) Negara Masih Gagal dalam Pemenuhan Hak-hak Dasar Rakyat, JARI Indonesia, Jakarta.

[22] Kompas, Sabtu 4 Juni 2005.

[23] Simak Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan pembangunan Nasional, Jakarta 12 Desember 2004.

[24] Amartya Sen (1998) Beyond The Crisis: Development Strategies in Asia terjemahan dalam Bahasa Indonesia Demokrasi (Tidak) Bisa Memberantas Kemiskinan (2000), Penerbit Mizan, Bandung.

[25] Ibid.

[26] Sherry Arnstein  (1969) “A Ladder of Citizen Participation” dalam Bimo Nugroho “Partisipasi Rakyat Membuat UU”,  Kompas: 1 Agustus 2002.

[27] Tim GAPRI (2003). Strategi Bersama Masyarakat Sipil Indonesia: Empat Pilar Demokratisasi Untuk Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan,” GAPRI, Jakarta. 

[28] Majalah TEMPO Edisi 16-22 Mei 2005.

[29] Ibid.

[30] Hasil riset Demos (2004) membedakan secara tegas antara demokrasi prosedural dengan demokrasi substansial. Dengan mengukur kualitas, cakupan, dan perkembangan sekitar 40 hak dan institusi demokrasi, riset ini menunjukkan bahwa di Indonesia masih terjadi “defisit demokrasi” sehingga implementasi demokrasi belum berjalan secara substantif.