Jumat, 03 April 2009

Politik dan Demokrasi


Satu Dekade Reformasi:

Majukah Demokrasi Kita?

Ada sementara pihak yang mengklaim bahwa demokrasi di Indonesia sudah mengalami kemajuan pesat. Sementara di sisi lain ada pula yang justru skeptis dan menyebut demokrasi di Indonesia telah gagal total. Sejatinya, majukah demokrasi kita?

Survei pertama Demos (2003-2004) mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia menyimpulkan bahwa situasi demokrasi Indonesia mengalami defisit. Kondisi defisit itu antara lain terindikasi dari adanya kesenjangan antara pesatnya perkembangan berbagai kebebasan serta hak-hak sipil politik di satu sisi, dan buruknya kondisi perangkat-perangkat operasional demokrasi di sisi yang lain.

Apakah kondisi demokrasi saat ini sudah mengalami perubahan? Temuan survei Demos yang terakhir (Resurvey, 2007)  secara umum menunjukkan bahwa potret demokrasi Indonesia mengalami sejumlah kemajuan. Informan kami memberikan penilaian bahwa hampir semua perangkat demokrasi mengalami perbaikan, terutama yang berkaitan dengan perangkat operasional pemerintahan. Sementara itu, celah defisit juga tampak menjadi semakin sempit.

Namun begitu, membaiknya sejumlah perangkat demokrasi itu tidak serta-merta mengubah wajah demokrasi Indonesia menjadi baik. Mengapa? Pertama, perbaikan-perbaikan pada berbagai perangkat operasional demokrasi itu berasal dari kondisi yang sangat buruk, sehingga situasinya sekarang masih tetap belum benar-benar baik. Kedua, kesenjangan antara aspek-aspek kebebasan yang membaik dan perangkat-perangkat operasional demokrasi memang menyempit, tetapi fenomena ini tidak serta-merta disebabkan oleh membaiknya perangkat-perangkat operasional demokrasi, melainkan karena hampir semua aspek fundamental justru mengalami stagnasi dan kemerosotan.

Beberapa perangkat operasional demokrasi yang dianggap memburuk oleh informan adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berbicara, kebebasan mendirikan serikat buruh, serta akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media. Tragedi yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mungkin dapat menjadi salah satu contoh nyata betapa kebebasan berkeyakinan sebagai salah satu hak asasi yang dijamin undang-undang diabaikan dan bahkan dinodai secara vulgar. Contoh lain yang relevan untuk disebut adalah ’kekalahan’ Time atas Soeharto yang sekaligus dikabulkannya tuntutan Soeharto agar Time membayar ganti rugi sebesar Rp 1 milyar. Kendati survei ini tidak memperlihatkan kemunduran dalam kebebasan pers, fenomena ini tentu dapat mengancam kebebasan publik untuk mengakses berbagai pandangan yang disajikan media, dan lebih jauh lagi bisa menjadi preseden buruk yang mengancam kebebasan pers.

Kemunduran juga tampak pada instrumen partisipasi warga negara, terutama perangkat operasional mengenai kebebasan mendirikan partai dan ikut serta dalam pemilihan umum di berbagai tingkatan serta pada berbagai aspek penguatan representasi. Selain itu, demokratisasi Indonesia juga masih mengidap masalah-masalah lain, yaitu tidak adanya perbaikan akses dan partisipasi dari semua kelompok sosial –terutama kelompok-kelompok marjinal– terhadap kegiatan publik, buruknya kesetaraan gender, masih buruknya transparansi dan akuntabilitas militer dan polisi terhadap pemerintah terpilih dan terhadap publik, serta masih kuatnya ketergantungan pemerintah kepada intervensi pihak asing.

Kemunduran lainnya yang tampak dari data resurvey adalah masih lemahnya representasi. Meskipun demokrasi telah semakin berfungsi menjadi sistem dan kerangka politik nasional, tetapi representasi masih menjadi masalah paling kronis. Belum ada perbaikan substansial menyangkut tiga dimensi representasi, yakni representasi politik berbasis partai, representasi kepentingan berbasis asosiasi sipil dan gerakan sosial, serta partisipasi langsung. Selama ketiga dimensi representasi itu masih tidak dijadikan agenda utama demokratiasi politik, tampaknya demokrasi Indonesia masih akan tetap dimonopoli oleh kepentingan-kepentingan kelompok elit oligarkis. Gejala ini tercermin dengan jelas dalam sistem kepartaian Indonesia saat ini. Meskipun ada kebebasan untuk membentuk partai, namun partai-partai baru yang muncul tidak cukup mengagregasikan representasi alternantif yang berarti. Tampak bahwa partai-partai baru yang ada cenderung ‘menjual stock lama’ dan hanya memunculkan orang yang ‘itu-itu’ juga. Tak heran jika kebebasan membentuk partai dan keikutsertaan dalam pemilihan umum dinilai sebagian besar informan Demos sebagai perangkat demokrasi yang mengalami kemerosotan paling parah diantara perangkat-perangkat demokrasi lainnya.

Aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Perangkat-perangkat yang termasuk dalam hak Ekosob adalah hak memperoleh pendidikan dasar, perlindungan hak anak, dan hak memperoleh pekerjaan dan jaminan sosial, serta good corporate governance. Angka indeks untuk kelompok perangkat hak-hak Ekosob memang memperlihatkan sedikit peningkatan. Kendati begitu, angka indeks komulatif tetap tergolong rendah. Ini menunjukkan bahwa pada dimensi ini pun kondisi demokrasi kita masih pincang. Potret yang tampak di hadapan kita menunjukkan bahwa masih banyak warga yang tak sanggup memenuhi kebutuhan dasar mereka. Angka kemiskinan, pengangguran, dan sejumlah persoalan sosial lainnya juga masih tampak krusial.

Hingga di sini, ada empat kesimpulan sementara yang bisa dikemukakan. Pertama, secara umum kita melihat ada perbaikan pada perangkat-perangkat demokrasi. Kedua, celah defisit pada perangkat-perangkat demokrasi memang kelihatannya makin menyempit. Ketiga, bagaimanapun, penyempitan itu tidak semata-mata menunjukkan adanya perbaikan semua perangkat. Perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan dasar dan partisipasi politik kepartaian yang sebelumnya memiliki angka indeks yang baik kini justru menurun. Perbaikan-perbaikan dalam aspek manajerial pemerintahan sepertinya harus ditebus dengan menurunya berbagai kebebasan. Keempat, seiring dengan mandegnya perkembangan berbagai kebebasan dasar dan hak-hak sipil politik, kemandirian negara juga tak kunjung mengalami perbaikan. Terakhir, kondisi hak-hak Ekosob meskipun tampaknya mengalami perbaikan di sejumlah aspek, tetapi jelas situasinya masih pincang.

Kombinasi dari kesimpulan-kesimpulan itu memperlihatkan gambaran bahwa di tengah perbaikan defisit demokrasi, aspek-aspek fundamental demokrasi lainnya diam-diam masih juga terancam. Harus diakui bahwa kondisi demokrasi dalam sejumlah aspeknya memang mengalami perbaikan. Namun demikian, harus disadari pula bahwa fondasi demokrasi kita masih rapuh. Ibaratnya, perbaikan-perbaikan demokrasi itu masih berlangsung ‘di atas pasir’ sehingga kondisi demokrasi kita masih goyah. Paparan mengenai kemajuan dan kemunduran proses demokratisasi ini tentu bukan dimaksudkan untuk menumbuhkan skeptisme ataupun ekspektasi yang berlebihan. Namun diharapkan dapat memfasilitasi ruang publik bersama untuk mendiskusikannya secara lebih cermat dan realistis seraya terus meningkatkan beragam upaya untuk memaknai demokratisasi secara berkelanjutan. (Sofian M. Asgart)

Golput dan Pemilu


No Vote for Corruption

By Sofian M. Asgart

The strengthening of the no-vote trend in the 2004 Election is a surprising indication of political apathy. Why are political parties slighted and abandoned by their constituents?

OLD wine, new bottle. This saying seems to encapsulate the stagnant and unimproved political situation of late. At a glance, it is clear that the victor of the 1999 Election still occupies the highest place on the 2004 Election vote ladder. Yet a closer look will show that the Big Five of the 1999 Election have failed to keep the people’s trust. This botch-up can be seen in the comparison of votes in 1999 and 2004 (Table 1). 

PDI-P as the ruling party previously gained 35,689,073 votes (33.74 percent), after which it slid to second place with 21,026,629 (18.53 percent). Even though the number of votes for Golkar gained a little, making it number one at the 2004 Election, it also experienced a decline in percentage from 22.44 percent (1999) to 21.58 percent (2004). Ditto the National Awakening Party (PKB) and the United Development Party (PPP). The National Mandate Party (PAN) had the worst of it: it was scrapped from the Big Five, after being elbowed out by two new kids on the block, the Democrat Party (PD) and the Prosperous Justice Party (PKS).

Presiding over all this is the no-vote category (or ‘golput,’ those who elect not to choose—Ed.): the real winner of the 2004 Election. Their total number is 34,509,246 (23.34 percent) in the legislative election. In the first round of the presidential election, the no-vote figure shot up to 48,307,455 votes (31.05 percent) and is estimated to have swelled between 34 to 40 percent in the second round.

At the very least, this phenomenon explains three things. First, the dawn of voters’ reason. In a relatively safe, peaceful and democratic election, people feel they are better able to express their freedom and sovereignty through the exercise of reason. The 2004 Election is its testimony: it has, in political analyst Daniel Sparingga’s words, put to trial the country’s elite who have let the people down. 

Second, the fact that alternative political parties simply don’t pass muster. While the freedom to form parties does create opportunities, it also generates fragmentation in the reformist camp. This sort of condition on the one hand can become an impediment to democratic consolidation as new parties emerge half-heartedly with myriad primordial interests. Chairman of the People’s Struggle Party (PPR), Gustaf Dupe, concedes to the difficulty of uniting these reformist groups into a solid alternative party. According to him, what is gaining ground are precisely the primordial instincts and the private interests of the shock parties’ new elite.

Third, there is no denying that today’s political parties are in serious malfunction, especially with regard to their representative function. Perhaps this is the portrait of political parties oft-maligned by political observer Riswanda Imawan: political parties are simply unable to aggregate the interests of their constituencies. Little wonder that golput becomes the course of choice.

In the research conducted by Demos, most sources have reiterated that the needs and aspirations of the people are not adequately represented by existing institutions such as the parliament and political parties. Because of that, the Regional Assessment Council (RAC) recently organized by Demos, a forum involving many local pro-democracy proponents, yielded a recommendation to establish local parties. The demand came from the West Sumatran contingent, the whole of Kalimantan, Bali, West Nusa Tenggara, East Nusa Tenggara, Maluku and Papua.

This hints at people’s increased disillusionment towards existing political parties. Meanwhile, the decreasing numbers of registered voter turnout marked by the rise of golput figures in many places beg serious questions regarding the representative quality of our political parties. Poor quality of representation is one of the important findings of the Demos research (Table 2).

Of those seven aspects of representation, only the quality of the second is judged to be good. The rest is very poor. Since 1999, the trend of representation tends to worsen or remains the same, making it not just an inadequately addressed problem, but a real case of neglect.

We all know that political parties should accommodate the needs and interests of their constituents. What is happening instead is quite the reverse: the party electorate is being forced to toe the party elite line. The elite coalitions that have cropped up like mushrooms after the rain are but an example of high-level political intrigue that confuses the public. Party constituents are intimidated into complying with elite aspirations. For example, when the National Awakening Party (PKB) went into coalition with Golkar to assure the victory of the Wiranto-Wahid duo, the PKB ranks scrambled to marshal the PKB base (as well as the supporters of Nadhlatul Ulama, the country’s largest Muslim organization) to jump ship.

Yet in the second round of the presidential election, the PKB mobilized NU supporters to support another candidate. Here is a portrait of the people as political constituents being tossed about by their own spokespeople. Such is the reverse logic of our party elites, who should be following the wishes of the people, not the other way around.

The 2004 Election appears to carry a valuable lesson for our politicians: as people’s representatives it is their duty to prioritize the interests of the people. Diminished registered voters turnout is proof that if the needs and wishes of people are corrupted, they will retaliate with no votes.

Tempo, No. 21/V/Jan 25 - 31, 2005 


LSM dan Politik

Geliat CSO Menuju Go Politics

Potret Kecil dari Jawa Barat


  by: Sofian M. Asgart


Iftitah: Terbukanya Pasar Politik

Bergulirnya reformasi telah menciptakan pasar politik baru dengan semakin terbukanya kesempatan menjadi aktor politik dalam berbagai level. Kesempatan politik ini bukan saja dimanfaatkan oleh para politisi kawakan yang berusaha bermetamorfosa dengan “baju baru”-nya, namun juga munculnya fenomena politisi baru, baik melalui partai lama maupun juga dengan mengusung partai baru. Diantara para politisi baru yang mencoba meramaikan pasar politik itu juga tampak para aktivis Civil Society Organisation (CSO).

Masuknya kalangan CSO ke ranah praksis politik memang mengundang sejumlah polemik. Namun secara umum, ada dua pandangan yang secara diametral bersebrangan satu sama lain. Pertama, menganggap masuknya kalangan CSO ke dunia politik praktis sebagai sebuah pengkhianatan sekaligus menegasikan peran dan fungsi CSO sebagai organisasi non-politik yang berorientasi kerakyatan. Kedua, menganggap masuknya kalangan CSO ke ranah politik sebagai upaya untuk “mewarnai” sekaligus merubah sistem dari luar.

Kini wacana menuju politik praktis (go politics) di kalangan CSO semakin massif. Dengan bergulirnya Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) –yang begitu merangsang proses-proses politik dan demokratisasi di tingkat lokal— bahkan, polemik mengenai perlu-tidaknya CSO berpolitik tampaknya hampir berakhir. Dalam artian, hampir semua kalangan CSO kini sepakat untuk go politics. Persoalannya kemudian adalah bagaimana cara efektif menempuh jalur go politics itu? Memanfaatkan partai yang ada atau membuat partai baru? Strategi apa saja yang akan digunakan untuk meraih dukungan massa? Dan sejumlah pertanyaan lain yang sudah lebih progressif ketimbang mewacanakan perlu-tidaknya CSO berpolitik.

Sebagai wilayah dengan “suhu politik” cukup tinggi –dengan geopolitik yang berhimpitan dengan pusat kekuasaan— Jawa Barat (Jabar) merupakan daerah yang cepat terkena imbas suhu politik nasional. Apa yang terjadi di Jakarta dengan segera juga akan menjalar ke Jabar. Demikian halnya wacana go politics yang kini kian massif dikumandangkan kalangan CSO. Pada Juli 2005, bahkan, di Bandung telah digelar pertemuan CSO tingkat nasional yang secara khusus membicarakan strategi kalangan CSO memanfaatkan dan memenangkan Pilkada. Pertemuan yang difasilitasi PERGERAKAN dan TIFA ini membuahkan beberapa kesepakatan, antara lain perlunya penggalangan kekuatan di kalangan CSO untuk membangun partai alternatif –baik partai lokal maupun partai nasional— terutama dalam rangka menyongsong Pemilu 2009.

Dalam hubungannya dengan upaya go politics, CSO di Jabar tergolong cukup progressif. Terdapat sejumlah Organisasi Rakyat (OR) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jabar yang memiliki agenda go politics. Beberapa diantaranya yang paling menonjol adalah Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), PERGERAKAN, dan Serikat Petani Pasundan (SPP). Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi kiprah ketiga lembaga ini dalam upayanya mengusung go politics sebagai salah satu angenda yang mereka perjuangkan.

 

Karakteristik Umum

Diantara ketiga organisasi tersebut, KPA merupakan lembaga paling berpengalaman. Bukan saja di Jawa Barat, di tingkat nasional pun KPA sering menjadi rujukan, terutama dalam kaitannya dengan persoalan konflik pertanahan. Ini karena sejatinya KPA merupakan konsorsium yang bersifat nasional dimana PERGERAKAN dan SPP pun menjadi salah satu anggota konsorsium KPA. Karena itu, kekuatan jaringan yang sudah menasional itu merupakan salah satu keunggulan tersendiri yang dimiliki KPA. 

Sebagai organisasi yang memiliki graffiti dalam kegiatan advokasi, PERGERAKAN seringkali menjadi simpul bersama sekaligus memfasilitasi beragam aktivitas advokasi, termasuk di dalamnya mengadvokasi persoalan pertanahan yang merupakan “PR” KPA dan SPP. Meskipun tergolong lembaga baru, PERGERAKAN –yang mulai berkiprah sejak 2002— merupakan organisasi yang progressif. Ini antara lain dapat dilihat dari keberhasilannya menginisiasi pertemuan-pertemuan nasional kalangan CSO yang antara lain menelorkan Front Persiapan Pembentukan Partai Politik Alternatif yang kemudian menjadi cikal-bakal Partai Persyarikatan Rakyat (PPR) yang kini dikomandani Syaiful Bahari.

 

Sementara itu, SPP sebagai organisasi tani lokal, gerakannya terbatas di wilayah Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Namun keterbatasannya ini sekaligus merupakan kekuatannya. Dengan basis massa riil di tiga kota itu, SPP justru seringkali menjadi “tulang punggung” bagi KPA dan PERGERAKAN dan bahkan bagi banyak organisasi lainnya yang berkepentingan melakukan pengerahan massa secara massif. Dalam hal mobilisasi massa inilah SPP memiliki keunggulan tersendiri karena basis konstituennya sangat jelas dan nyata.

Ketiga organisasi tersebut sepertinya memiliki arena bermain (locus) yang berbeda, namun sejatinya saling melengkapi satu sama lain. KPA lebih banyak bermain di tingkat nasional dengan isu tunggal masalah pertanahan. PERGERAKAN merupakan organisasi semi-nasional (regional) lintas isu. Sementara SPP merupakan organisasi lokal dengan fokus isu tanah/petani. Meskipun berbeda locus, ketiganya memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertama, sama-sama memiliki visi kerakyatan. Hal ini bisa dilihat dalam dokumen kelembagaanya yang ketiga-tiganya secara formal mencantumkan asas kerakyatan dalam visi organisasinya. Kedua, baik KPA, PERGERAKAN maupun SPP ketiga-tiganya memiliki misi yang sama dalam hal agrarian reform. Ketiga, mereka juga memiliki perspektif yang sama mengenai agenda go politics meskipun diantara ketiga lembaga tersebut juga memiliki pilihan-pilihan strategi yang berlainan dalam pengimplementasiannya.

 

Variasi Gerakan

Dalam Anggaran Dasar KPA disebutkan bahwa tujuan utama pembentukan KPA adalah untuk memperjuangkan terciptanya sistem agraria yang adil  dan menjamin pemerataan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi seluruh  rakyat Indonesia; jaminan kepemilikan, penguasaan dan pemakaian  sumber-sumber agraria bagi petani, nelayan, dan masyarakat adat; jaminan  kebebasan berserikat serta jaminan kesejahteraan bagi rakyat kecil. 

Karena orientasi perjuangan KPA untuk memperjuangkan rakyat kecil, maka ideologi politik yang diusung pun lebih merupakan ideologi kerakyatan. Artinya, KPA menempatkan rakyat pada posisi sangat sentral. Ini juga sesuai dengan asas yang dipegang KPA dimana kedaulatan rakyat adalah segalanya dan merupakan tujuan tertinggi yang harus diperjuangkan untuk mencapainya. Karena basis utama KPA adalah para petani penggarap yang miskin, maka persoalan utama yang penting diperjuangkan adalah keadilan atas hak pemilikan dan akses terhadap sumber daya, terutama tanah sebagai sumber produksi petani. Cita-cita luhur terciptanya kebijakan agraria yang berkeadilan dengan begitu menjadi salah satu agenda politik KPA yang urgen. Karena itu pula slogan KPA “Tidak ada demokrasi tanpa land reform !”.

Pada sisi itu, sebetulnya agak sulit mencari perbedaan antara “ideologi politik” KPA dengan SPP. Karena, baik orientasi kerakyatan maupun land reform, keduanya juga merupakan tujuan politik SPP. Namun begitu bukan berarti tidak ada perbedaan diantara keduanya. Setidaknya, ada tiga perbedaan menonjol antara KPA dengan SPP, yaitu pola kepemimpinan, mobilisasi massa, dan strategi gerakan. Sebagai organisasi modern yang sudah menasional KPA menerapkan pola kepeimpinan yang bersifat federatif, sementara SPP lebih terfokus ke personal leadership yang bersifat kharismatik. Dalam hal mobilisasi, KPA lebih banyak memanfaatkan jaringan organisasi yang tersebar, sementara SPP lebih banyak mengandalkan pengerahan massa. Dalam hal strategi, KPA lebih banyak menempuh jalur-jalur “resmi” secara variatif yang disepakati anggota konsorsium, semetara KPA agak tergantung pada figur pemimpin yang kadang menempuh strategi yang zig-zag.

Diantara kedua kutub itu, PERGERAKAN sepertinya berada diantara persilangan keduanya. Selain itu, dalam hal isu gerakan dan konstituen, PERGERAKAN sudah lebih maju daripada KPA dan SPP. KPA dan SPP cenderung terfokus ke isu tanah dan petani. Demikian pula dalam hal konstituen, kedua organisasi itu memperoleh dukungan secara terbatas dari petani dan pihak-pihak yang memiliki persoalan pertanahan. Sementara PERGERAKAN telah melakukan broadening mass movement dengan memasukkan isu-isu lain –seperti nelayan, buruh, miskin kota, politisi prodem, dan lain-lain— dalam garapan advokasinya. Namun demikian, di atas perbedaan dan variasi-variasi strategis itu, ketiganya memiliki hasrat yang sama untuk melakukan agenda go politics. Ini antara lain dapat disimak dari berbagai eksperimentasi yang mereka lakukan, terutama dalam menyambut Pilkada, dimana mereka terlibat dalam proyek “uji-coba”repolitisasi rakyat di banyak tempat.

 

 

Merajut Hambatan, Merebut Harapan

Agenda go politics kini telah menjadi mainstream di kalangan CSO. Fenomena ini setidaknya dapat disimak dari geliat berbagai kalangan CSO yang mengedepankan beragam upaya, seperti  blok-politik yang digagas WALHI, front politik CSO yang diprakarsai jaringan persyarikatan rakyat, pertemuan masyarakat sipil yang diselenggarakan Sekar, dan upaya-upaya lainnya.

Selain memunculkan optimisme, dalam forum-forum politik itu juga menyemburat sejumlah kendala yang secara kasat mata dirasakan bersama. Setidaknya, ada tiga hambatan utama yang dihinggapi kalangan CSO dalam menuju agenda go politics yang mereka canangkan. Pertama, terbatasnya basis konstituen yang menjadi sumber-massa pendukung. Fenomena yang umum ditemukan adalah saling mengklaim massa diantara kalangan CSO, sementara yang diklaim ternyata adalah massa yang sama. Ini menunjukkan bahwa konstituen sesungguhnya dari kalangan CSO masih sangat terbatas. Kedua, terfragmentasinya wilayah isu dan gerakan CSO dari isu dan wilayah yang terpisah-pisah. Bahkan, dalam banyak hal, para aktivis CSO terpecah belah dengan sejumlah aktivitasnya. Ketiga, para aktivis CSO juga masih terkesan elitis. Aktivisme mereka memiliki jarak yang cukup lebar dengan publik sehingga mereka tampak seperti kaum demokrat yang mengambang (floating democrat). 

Namun begitu, berbagai kendala tersebut tidak seharusnya menyurutkan mereka dari hasrat dan niat suci untuk melakukan go politics. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mereka mampu menafsirkan hambatan menjadi harapan, merubah kendala menjadi peluang.  Langkah berikutnya tentu saja membangun kesadaran bersama bahwa sejatinya kalangan CSO memiliki kendala yang sama, namun juga mereka memiliki harapan dan peluang yang sama. Kesadaran ini pada gilirannya akan mengantarkan mereka pada “keharusan” untuk melakukan sinergi, aliansi, dan sindikasi untuk menciptakan pilihan-pilihan politik kolektif secara objektif dan komprehensif. ***

Gerakan Buruh dan Demokrasi

Quo Vadis Gerakan Buruh ?

by. Sofian Munawar Asgart

                                

Dalam konstelasi demokratisasi sejatinya buruh memiliki urgensinya tersendiri. Tidak berlebihan jika Rueschemeyer menyatakan bahwa kelas pekerja merupakan kekuatan pro-demokrasi utama.[1] Setidaknya, ada tiga alasan penting mengapa buruh memiliki potensi besar sebagai agen perubahan dibandingkan dengan kekuatan civil society yang lainnya. Pertama, buruh memiliki kemampuan “lebih” untuk memobilisasi massanya melakukan gerakan politik.  Berbeda dengan kekuatan civil society lainnya, mobilisasi buruh kerapkali digerakkan atas dasar kesadaran kolektif –bahkan kesadaran kelas— setelah mengalami eksploitasi dalam hubungan produksi.  Dalam banyak kasus di berbagai negara, buruh memiliki identitas politik yang lebih jelas dan militan yang berakar kuat pada sejarah yang dilaluinya.  Kedua, gerakan buruh –berbeda dengan gerakan mahasiswa misalnya— dapat menimbulkan dampak ekonomi yang meluas baik bagi perusahaan maupun ekonomi makro suatu negara dalam bentuk berhentinya produksi.   Ketiga, gerakan buruh dapat memicu munculnya persoalan sosial-politik baru terutama di daerah-daerah konsentrasi industri –bahkan dapat memaksakan pergantian rezim atau perubahan struktur politik.[2]

Besarnya potensi gerakan buruh seringkali menjadi pemicu pemerintah untuk melakukan pengendalian yang serius. Upaya pengendalian ini antara lain dilakukan melalui represi, intimidasi dan politik pencitraan dengan membuat kesan negatif terhadap gerakan buruh agar gerakannya tidak meluas. Pada masa Orde Baru, misalnya, gerakan buruh selalu diasosiasikan dengan gerakan kiri-komunis yang anarkis. Upaya untuk membendung meluasnya gerakan buruh juga masih terus berlanjut hingga kini, bahkan masih dengan menggunakan cara-cara lama itu: represi, intimidasi, dan politik pencitraan. Wapres Jusuf Kalla, misalnya, menuding “aksi buruh ditunggangi pihak tertentu”.  Sementara Presiden SBY mengeluarkan pernyataan tendensius yang lebih politis dan menyudutkan: “Aksi buruh yang anarkis itu telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak  yang tidak ikhlas atas hasil Pemilu 2004.”[3]

Represi, intimidasi, dan politik pencitraan yang negative terhadap gerakan buruh ternyata tidak berhenti di aras struktural kekuasaan. Celakanya, hal itu justru telah berhasil direproduksi di aras societal. Ini terbukti, misalnya, menjelang perayaan Mayday 2006, hampir semua stasiun TV mengcover sejumlah kegusaran akan terjadinya kemacetan, anarkisme, dan situasi chaotic lainnya. Dengan begitu pencitraan ini pun kemudian tanpa disadari merasuk dan menyergap ruang kesadaran publik. Deretan persoalan ini tentu dapat diperpanjang lagi, termasuk dan terutama dari persoalan internal buruh itu sendiri. Yang pasti, sejumlah persoalan tersebut telah berpengaruh pada tersendatnya energi potensial gerakan buruh yang hingga kini belum mewujud menjadi energi kinetik yang produktif dan prospektif bagi terciptanya kondisi demokrasi yang bermakna.       


Beberapa Kendala

Pakar perburuhan dari Universitas Stockholm, Bjorn Beckman, menilai bahwa kelas buruh di Indonesia telah gagal memberikan peran politiknya, termasuk dalam memberikan andil secara signifikan bagi tumbangnya rezim Soeharto.[4] Menurutnya, kondisi ini disebabkan oleh fragmentasi di dalam gerakan buruh sendiri yang ditandai dengan munculnya pusat-pusat serikat buruh. Hingga kini tidak kurang dari 60 organisasi pusat serikat buruh. Fragmentasi ini tentu akan semakin tampak di level organisasi di bawahnya.

Sementara itu, aktivis FNPBI Dita Sari menilai bahwa pasca jatuhnya rezim Soeharto gerakan buruh sebenarnya juga menghadapi masalah yang lebih pelik. Menurutnya, pasar politik baru justru telah melahirkan otoritarianisme baru dimana terjadi kompetisi kaum borjuasi yang akan memposisikan buruh lebih sulit, bukan hanya di tingkat nasional, tapi juga di tingkat lokal karena kepentingan modal makin intensif dibackup oleh penguasa lokal.[5]

Dalam kaitan itu, Olle Tornquist memberikan dua argumen penting mengapa buruh memiliki kontribusi lemah terhadap demokratisasi pasca Orde Baru. Pertama, bahwa kejatuhan Soeharto dan kelahiran demokrasi di Indonesia disebabkan oleh krisis, bukan oleh pembangunan atau modernisasi kapitalis yang didukung Barat. Bukan karena kapitalisme sedemikian dinamis dan progresif sehingga timbul kelas menengah liberal atau bahkan kelas pekerja yang kuat yang bisa mematahkan kungkungan represi. Sebaliknya, krisis secara massif mengurangi kekuatan tawar-menawar para buruh. Kedua, sejarah politik demokratisasi yang lemah. Menurutnya, ada sejumlah kendala yang dihadapi buruh, antara lain kuatnya fragmentasi gerakan buruh. Ini antara lain disokong empat basis utama, yaitu sentralisme, Ornop, sektor usaha dan pabrik, serta dana asing yang memecah belah. Di pihak lain, sebagian besar kalangan buruh juga menilai tidak ada kaitan antara perjuangan di tempat kerja dengan politik.[6] Hal ini pula yang menyebabkan gerakan buruh menjadi sektoral.

Salah satu kesimpulan penelitian DEMOS mengenai “Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia“ juga menunjukkan bahwa agen-agen perubahan yang mengusung demokratisasi di Indonesia masih memposisikan dirinya sebatas sebagai aktivis masyarakat dan kelompok penekan, namun posisi dan peranan mereka mengambang di garis-tepi sistem demokrasi yang baru tumbuh, sehingga tidak mampu memberi dampak nyata bagi perubahan yang diharapkan.[7] Selain itu, para aktivis pro-demokrasi juga tampaknya masih terfragmentasi. Aktivis buruh sebagai bagian inhern dari gerakan pro-demokrasi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari masalah ini. Beberapa data spesifik mengenai kondisi aktivis buruh juga dapat disimak dalam salah satu segmen hasil penelitian DEMOS yang akan menjadi pokok bahasan berikut.

1. Pesimisme menghadapi defisit demokrasi

Para aktivis pro-demokrasi yang menjadi informan riset DEMOS umumnya mempunyai pandangan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami defisit antara instrumen-instrumen kebebasan sipil dan politik –yang relatif  lebih baik— dengan instrumen representasi dan pemerintahan yang menunjukkan kualitas sangat buruk. Sesungguhnya terdapat beberapa pola variasi di kalangan aktivis berbasis issu meskipun secara umum dapat dikategorikan pada dua kelompok besar, yakni yang memiliki sikap optimis dan pesimis terhadap instrumen representasi tersebut.[8] Dalam hal ini, aktivis buruh boleh dibilang sebagai kelompok moderat dalam kaitannya dengan instrumen kebebasan sipil, namun sekaligus menjadi kelompok yang pesimis terhadap instrumen pemerintahan dan representasi. Potret ini dapat disimak dalam tabel berikut:


No

Instrumen Kebebasan Sipil

Instrumen Pemerintahan dan Representasi

1.

Politisi pro-demokrasi

78 %

Aktivis Media

23 %

2.

Aktivis Rekonsiliasi

72 %

Aktivis Gender

21 %

3.

Aktivis Buruh

64 %

Aktivis HAM

12 %

4.

Aktivis HAM

57 %

Aktivis Buruh

11 %

5.

Aktivis Gender

55 %

Aktivis Miskin Kota

1 %

Sumber: Data DEMOS, diolah

2. Buruknya representasi di mata aktivis buruh

Sebagian besar informan riset DEMOS dari kalangan aktivis buruh menilai bahwa instrumen kepartaian dan pemerintahan sangat buruk kualitasnya. Tabel berikut merupakan penilaian atas beberapa instrumen representasi yang menurut informan dari aktivis buruh dipandang memiliki kualitas yang sangat buruk. Dalam hal kepartaian, misalnya, sebagian besar informan aktivis buruh (90%) menilai potret partai sangat buruk, baik dalam menganggregasikan kepentingan vital masyarakat, indepedensinya atas politik uang, maupun dalam hal tanggung jawabnya terhadap konstituen. Kemampuan partai membentuk dan menjalankan pemerintahan, bahkan kinerjanya lebih buruk lagi (95%). Potret yang sama buruknya juga terjadi dalam hal pemerintahan. Sebagian besar informan aktivis buruh (92%) menilai sangat buruk instrumen yang berhubungan dengan   keterbukaan dan akuntabilitas birokrasi pada publik, kontak langsung masyarakat pada wakil politik dan dinas-dinas pelayanan umum, dan independensi pemerintah dari pihak asing. Instrumen paling buruk adalah independensi pemerintah dari penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi dimana 97% informan memberikan penilaian yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa dari perspektif aktivis buruh, persoalan representasi merupakan hal yang sangat krusial.


No

Instrumen kepartaian yang buruk

Instrumen pemerintahan yang buruk

1.

Partai yang mencerminkan issu dan kepentingan vital masyarakat

90 %

Keterbukaan dan akuntabilitas birokrasi pada publik

92 %

2.

Independensi partai dari politik uang

95 %

Kontak langsung masyarakat pada wakil politik dan dinas-dinas pelayanan umum

92 %

3.

Kontrol anggota terhadap partai dan tanggung jawab partai pada konstituen

90 %

Independensi pemerintah dari pihak asing

92 %

4.

Kemampuan partai membentuk dan menjalankan pemerintahan

95 %

Independensi pemerintah dari penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi

97 %

Sumber: Data DEMOS, diolah

 

3. Karakteristik gerakan buruh

Hasil riset DEMOS menunjukkan bahwa dari beragam issu dan kepentingan yang diusung aktivis buruh, hanya sedikit agenda dan visi yang komprehensif. Sementara kapasitas para aktivis buruh dalam menghadapi problem-problem pemerintahan dan khususnya keterwakilan berkaitan erat dengan karakter issu-issu dan perspektif-perspektif kelompok-kelompok informan tersebut bekerja, masih tetap dominan.

 

Ini menunjukkan kecenderungan umum, adanya dominasi kebijakan gerakan yang bertumpukan pada karakter issu dan kepentingan spesifik, yakni sebesar 46 persen. Sementara issu dan kepentingan umum sebesar 33 persen, sedang gagasan atau nilai-nilai umum hanya 31 persen.

 

Dalam banyak kasus kita dapat melihat, misalnya demo-demo buruh yang massif umumnya dipicu oleh kepentingan “sempit” para buruh. Beberapa contoh misalnya demo kenaikan upah, revisi UU Ketenagakerjaan, atau bentuk-bentuk mogok kerja akibat hubungan industrial yang tidak harmonis.[9] Sementara itu, dalam demonstrasi yang mengusung kepentingan demokrasi yang lebih “luas”, aktivis buruh tampaknya kurang proaktif.

 

Contoh nyata misalnya ketika para aktivis pro-demokrasi melakukan demontrasi menolak Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP). Pada momen itu, tampaknya kalangan buruh tidak cukup tersentuh. Padahal, secara langsung maupun tidak langsung hal ini juga memiliki keterkaitan dengan kepentingan para buruh juga.

 

Minimnya kesadaran “politis” di kalangan buruh tercermin pula dalam pilihan strategi, wilayah gerakan, dan metode mobilisasi yang ditempuh para aktivis buruh. Tabel berikut menunjukkan bahwa wilayah gerakan mereka cenderung bertumpu di “wilayah publik” dan wilayah “unit-unit swakelola”. Aktivis buruh cenderung menghindari aktivisnya pada hal-hal yang bersifat “politik-ekonomi” di wilayah Negara dan bisnis.

 

No

Wilayah Gerakan Aktivis Buruh

F

1.

Negara

13 %

2.

Bisnis

9 %

3.

Unit-unit swakelola

30 %

4.

Wilayah publik

48 %

Sumber: Data DEMOS

Meskipun banyak varian dan pilihan strategi yang ditempuh para aktivis buruh dalam mengejawantahkan perjuangannya, namun strategi yang ditempuh lebih banyak “melalui masyarakat sipil” (38%) ketimbang pilihan strategi lainnya. Ironisnya, strategi komprehensif  justru menjadi pilihan yang unfavorable (5%). Namun begitu, dari segi metode mobilisasi, aktivis buruh telah menempuh cara-cara yang relatif berimbang dan cukup variatif. Hal ini dapat disimak dalam dua tabel berikut.

 

No

Pilihan Strategi Aktivis Buruh

F

1.

Melalui masyarakat sipil

38 %

2.

Melalui jalur judisial

18 %

3.

Melalui masyarakat sipil dan jalur judisial

12 %

4.

Melalui sistem legislatif

8 %

5.

Melalui sistem legislatif dan jalur judisial

6 %

6.

Melalui masyarakat sipil dan  sistem legislatif

14 %

7.

Strategi komprehensif

5 %

Sumber: Data DEMOS

 

No

Metode Mobilisasi Aktivis Buruh

F

1.

Kepemimpinan popular

16 %

2.

Pola dukungan dan imbalan

11 %

3.

Pola kepemimpinan alternatif

14 %

4.

Jaringan

28 %

5.

Unit-unit yang terintegrasi

31 %

Sumber: Data DEMOS

Agenda ke Depan

Selain karakteristik gerakan aktivis buruh, hasil riset DEMOS juga memperlihatkan potret para aktor dominan di dunia perburuhan. Aktor dominan yang dimaksud di sini adalah aktor –baik secara personal maupun institusional– yang paling dominan dan berpengaruh di dalam konteks aktivitas perburuhan, baik pada tingkat lokal maupun nasional, di luar lingkungan gerakan pro-demokrasi.[10] Dengan kata lain, aktor dominan di sini secara simplisistik dapat dipandang sebagai “musuh” para aktivis buruh. Setidaknya, ada lima kategori aktor dominan yang dianggap menghambat perjuangan aktivis buruh, namun yang paling utama adalah organ eksekutif baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal (40%) dan kalangan pengusaha (26%).

 

No

Aktor Dominan menurut Aktivis Buruh

F

1.

Organ eksekutif pusat/lokal

40 %

2.

Agen-agen represif

5 %

3.

Politisi oligarkis

11 %

4.

Pengusaha

26 %

5.

Pemimpin informal

17 %

6.

Lain-lain

1 %

Sumber: Data DEMOS

 

Dengan memahami faktor dan aktor penghambat, lalu apa yang seharusnya dilakukan para aktivis buruh ? Transisi demokrasi sungguh telah melahirkan kebutuhan yang sangat mendesak untuk merevitalisasi agenda demokratisasi. Olle Tornquist menyebutkan bahwa para aktor pro-demokrasi harus segera memutuskan apakah mereka akan meneruskan perjuangannya dengan cara yang lama atau beralih ke cara yang baru. Yang dimaksud dengan cara lama adalah perjuangan masyarakat sipil secara terbuka via a vis melawan negara seperti ketika berada di bawah rezim Soeharto. Cara yang baru adalah memberikan perhatian utama pada kepentingan yang sama, namun juga dalam kaitannya dengan negara dan politik, dan secara bersama-sama, selangkah demi selangkah, mencoba untuk mereformasi, mendemokratisasi,  sekaligus menggunakan demokrasi.[11]

Salah satu temuan penting Riset DEMOS menunjukkan bahwa begitu banyak issu dan kepentingan yang dibangun aktor pro-demokrasi, namun hanya sedikit agenda dan visi yang komprehensif. Hal ini juga terjadi di kalangan aktivis buruh dimana fragmentasi dan kepentingan sektoral masih menjadi mainstream. Karena itu sudah saatnya kaum buruh melakukan reorientasi gerakannya. Setidaknya, ada dua agenda mendesak yang penting dilakukan. Pertama, aktivis buruh harus segera mengubah pilihan strateginya dari sektoral menjadi gerakan simultan yang komprehensif. Agenda ini tentu saja secara langsung juga menuntut para aktivis buruh untuk bersikap lebih “politis” dengan menggeser gerakannya menuju “wilayah negara”. Kedua, melakukan broadening-base movement dengan membangun linkage bersama simpul gerakan pro-demokrasi yang lain sehingga  tercipta  new-democratic-pact  di kalangan gerakan  aktivis  pro-demokrasi.***



[1] Rueschemeyer, D., Stephens, E.H., & Stephens, J.D. (1992). Capitalist Development and Democracy. Cambridge, UK: Polity Press.

 [2] Untuk perbandingan, simak Donni Edwin, “Politik Gerakan Buruh: Kasus FNPBI dan KPS” dalam AE. Priyono, et all., (2003). Gerakan Demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto. Jakarta: DEMOS.

[3] Simak Kompas, 4 Mei 2006.

[4] Beckman, Bjorn, “Workers and Democracy” makalah dalam Konferensi Internasional “The Indonesian Transition to Democracy: Issues and Actors in National and International Perspective,” Jakarta: 17-19 Januari 2002.

[5] Pernyataan Dita Sari disampaikan dalam Workshop tentang Social Pact yang diselenggarakan DEMOS, Jakarta: 30 Mei 2006.

[6] Tornquist, Olle, “Buruh dan Demokrasi? Refleksi tentang Kebuntuan Politik di Indonesia,” dalam AE. Priyono, et all., (2003). Gerakan Demokrasi di Indonesia pasca-Soeharto. Jakarta: DEMOS.

[7]  Ibid.

[8] Tim Penulis DEMOS, 2005. Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia Jakarta: DEMOS.

[9]  Laporan penelitian AKATIGA-TURC-Lab Sosio UI (2005) bahkan menyebutkan bahwa perjuangan buruh Indonesia telah mengalami pergeseran dari perjuangan untuk kesejahteraan ke perjuangan eksistensial sekadar mempertahankan pekerjaan itu sendiri.

[10] Simak Kuesioner Riset Nasional DEMOS Putaran II (2004/2005), Jakarta: DEMOS.

[11] Olle Tornquist, at. all, “Demokrat Mengambang” dalam A.E. Priyono at. all (2003) Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto, Jakarta: DEMOS.