By: Sofian Munawar Asgart
Kata pertama dalam
Perjalanan sejarah manusia juga menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang maju peradabannya adalah bangsa yang menghargai tradisi baca-tulis. Sebut saja beberapa contoh, misalnya Assyria, Babylonia, Mesir, Persia, Arab, Yunani, Romawi, India Kuno, Cina Kuno, semua adalah bangsa-bangsa yang maju dan berpengaruh sangat besar pada zamannya. Mereka adalah bangsa yang memiliki tradisi baca-tulis serta tingkat apresiasi yang tinggi terhadap dunia keilmuan sehingga mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan peradaban manusia. Pada perkembangan mutakhir, kedigdayaan Amerika, kemajuan Eropa serta bangkitnya "Raja Asia" Jepang, juga tak terlepas dari semangat keilmuan di mana buku dan budaya baca menjadi sokogurunya.
Abad informasi kini ditandai dengan kompetisi global untuk menguasai sebanyak mungkin informasi. Dalam konteks inilah, budaya gemar membaca memegang peran utama. Selaras dengan ini, perpustakaan memiliki posisi strategis dalam menyediakan informasi sebagai media pembelajaran dan sumber pengetahuan dalam upaya mendukung peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan masyarakat. Tak heran jika banyak pengamat menilai bahwa kondisi perpustakaan merupakan cerminan nyata dari kebudayaan serta tingkat peradaban suatu bangsa.
Apa sesungguhnya fungsi dan misi Perpustakaan Nasional (Perpusnas)? Apa saja yang menjadi kendala dan tantangan Perpusnas dalam mengembangkan visi-misinya untuk menumbuhkan budaya baca masyarakat secara optimal ? Bagaimana Perpusnas memerankan dirinya dalam upaya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa ? Beberapa hal inilah yang akan dikaji dan dielaborasi dalam tulisan ini.
Perpusnas dan Tantangan Zaman
Tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang diamanatkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta disiplin dan memiliki etos kerja yang tinggi. Selaras dengan kebutuhan masyarakat akan informasi, kehadiran perpustakaan dituntut untuk mampu menyediakan berbagai sumber bacaan yang dibutuhkan oleh masyarakat guna meningkatkan kualitas hidupnya.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Perpusnas memiliki misi untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan hal ini, Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perpustakaan Nasional RI menyebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perpustakaan tersebut, Perpusnas mempunyai empat fungsi utama. Pertama, pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang perpustakaan. Kedua, koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas perpustakaan. Ketiga, pelancaran pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang perpustakaan. Keempat, penyelenggaraan pembinaan dan pelaksanaan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, kearsipan, persandian, serta perlengkapan kerumahtanggaan secara intern.
Adapun visi Perpusnas yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Perpusnas 2000-2004 adalah melakukan pemberdayaan potensi perpus-takaan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan visi ini, Perpusnas menetapkan empat misi. Pertama, membina, mengembangkan, dan mendayagunakan semua jenis perpustakaan. Kedua, membina, mengembangkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat. Ketiga, melestarikan bahan pustaka (karya cetak dan karya rekam) sebagai hasil budaya bangsa. Keempat, menyelenggarakan layanan perpustakaan.
Dari keempat misi tersebut, upaya untuk membina, mengembangkan minat dan kebiasaan membaca masyarakat merupakan agenda krusial yang sangat penting dan strategis. Hal ini, setidaknya, didasarkan atas dua asumsi. Pertama, keberadaan perpustakaan selama ini seringkali lebih berorientasi pada prosesi internal kelembagaan. Kedua, sementara, dunia pendidikan merupakan andalan pemerintah untuk menumbuhkan minat baca masyarakat, tampaknya terjebak pada formalisme yang sekadar membangun masyarakat bersekolah. Padahal tantangan kemajuan di masa depan justru harus dijawab dengan mengembangkan bangsa ini sebagai masyarakat belajar (learning society), sekaligus sebagai masyarakat membaca (reading society) yang apresiatif terhadap buku sebagai sumber ilmu.
Azyumardi Azra (2002) menilai bahwa pendidikan memiliki peran sangat strategis dalam mendukung dan mempercepat pembentukan masyarakat demokratis dan beradab (democratc civility) yang menjadi salah satu karakter terpenting masyarakat madani Indonesia. Menurutnya, tantangan untuk mewujudkan masyarakat madani yang demokratis itu merupakan agenda besar yang tidak dapat dibebankan kepada sekolah dan pendidikan formal semata. Keberhasilannya, bahkan, akan sangat tergantung pada linkage dan network diantara sekolah dan lembaga formal lainnya dengan lembaga-lembaga nonformal serta lembaga informal sebagai basis sosialisasi intelektual dan moral masyarakat secara keseluruhan.
Karena itu, pendidikan nasional yang berorientasi pada nation and character building harus bertumpu pada upaya untuk mempersiapkan individu dan warga masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan, melembagakan, dan mengembangkan masyarakat dengan menjamin kesempatan yang sama (equality) bagi setiap anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat secara demokratis dan profesional, serta dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dalam konteks inilah peran dan kehadiran perpustakaan dengan segala khazanah referensial yang dimilikinya dapat menjadi komplementasi kebutuhan belajar masyarakat secara nyata.
Melalui perpustakaan, masyarakat dapat mengakses segala kebutuhan informasi melalui sumber pustaka yang tersedia. Namun demikian, kenyataan lain juga menunjukkan bahwa buku sebagai sumber informasi tak lepas dari masalah. Meski diakui bahwa buku merupakan sesuatu yang teramat penting, tapi apresiasi masyarakat kita terhadap buku belum cukup menggembirakan. Menurut Arselan Harahap (1988) paling tidak ada lima masalah yang menyebabkan masyarakat kita jauh dari buku, yaitu harga buku yang mahal, mutu buku yang relatif rendah, peredaran buku yang tidak merata, adanya dampak dari krisis ekonomi serta rendahnya minat baca masyarakat. Deretan persoalan ini bahkan masih bisa diperpanjang lagi dengan masalah kepedulian pemerintah yang dirasa masih rendah. Sementara institusi-institusi lain yang terkait belum memfungsikan diri secara optimal dalam menggalakkan minat baca dan mendekatkan buku kepada masyarakat.
Tengoklah kesaksian para peneliti seperti Eduard JJ M Kimman, pengarang buku Indonesian Publishing (1981) dan Stanley A Barnet et al., dalam laporan Development Book Activities and Needs in Indonesia (1967). Secara ironis mereka sampai pada suatu kesimpulan bahwa data yang tepat tentang industri buku di Indonesia tidak tersedia. Sementara Zubaidah Isa, yang membuat tesis doktoral Printing and Publishing in Indonesia 1607-1979 di Indiana University juga memberikan kesimpulan yang hampir sama. Bahwa sejak merdeka, Indonesia tidak mempunyai kontrol bibliografis yang memadai. Selama ini tidak dibuat secara kontinyu catatan yang sistematis dan akurat tentang penerbitan buku di Indonesia. Adapun daftar buku yang kini diterbitkan oleh Ikapi setiap tahun, terutama lebih sebagai media promosi bagi terbitan penerbit Indonesia daripada catatan sistematis tentang data bibliografis terbitan buku di Indonesia.
Sementara itu, perpustakaan pemerintah dari pusat hingga daerah yang diharapkan berfungsi sebagai basis penyedia buku secara murah bagi masyarakat, tampak cenderung lips service. Keberadaannya lebih sekadar formalitas untuk menunjukkan bahwa pemerintah punya perhatian dalam mengupayakan keperluan buku dan minat baca masyarakat. Sementara berbagai prosedur pelayanan dan sistem pengadaan bukunya masih jauh dari kerangka ideal yang diharapkan. Kenyataan ini sebenarnya telah disadari oleh pihak Perpusnas.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja dan kondisi permasalahan yang dihadapi, Renstra Perpusnas 2000-2004, menginventarisir beberapa kelemahan yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: terbatasnya sumber dana di bidang perpustakaan, kurang memadainya kualitas SDM di bidang perpustakaan, kurang memadainya sarana dan prasarana, belum diberdayakannya secara optimal sistem jaringan informasi perpustakaan, kurang optimalnya promosi perpustakaan, terbatasnya kajian tentang perpustakaan dan minat baca, belum optimalnya koordinasi dan kerjasama di bidang perpustakaan, belum adanya pedoman umum tentang standar pelayanan publik di bidang perpustakaan, serta kurangnya hubungan kerjasama dengan organisasi profesi, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Selain kelemahan-kelemahan tersebut, Renstra Perpusnas 2000-2004 juga menyebutkan beberapa kendala yang dapat menghambat tercapainya misi dan tujuan Perpusnas. Kendala-kendala tersebut antara lain rendahnya produksi buku, kurangnya partisipasi dan apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan, sehingga perpustakaan belum merupakan suatu kebutuhan, belum optimalnya pemanfaatan perpustakaan, masih rendahnya minat baca masyarakat, relatif kurangnya jumlah perpustakaan, serta kurangnya kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi di bidang perpustakaan.
Berbagai kelemahan dan kendala tersebut sudah selayaknya menjadi perhatian para pustakawan untuk merumuskan agenda dan strategi ke depan sebagai solusi alternatif untuk mengantisipasinya.
Agenda dan Strategi ke Depan
Malik Fadjar (1999) memberikan rumusan mengenai tatanan masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan dengan beberapa karakteristiknya. Antara lain, masyarakat madani yang diwujudkan adalah masyarakat belajar (learning society) yang tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Masyarakat belajar ini menempatkan pendidikan sebagai proses yang berlangsung sepanjang hayat (min al-mahdi ila al-lahdi atau long life education).
Namun demikian, “agenda besar” tersebut hanya akan menjadi harapan semu manakala bangsa kita tidak memiliki apresiasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Disadari bahwa kesejahteraan bangsa bukan lagi bertumpu pada sumber daya alam dan modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual, modal sosial dan kredibilitas keilmuan sehingga tuntutan untuk terus menerus memutakhirkan pengetahuan menjadi suatu keharusan. Ini merupakan landasan penting yang dapat menjadi dasar pemikiran bagi pengembangan perpustakaan agar mampu memerankan dirinya sebagai sokoguru kegiatan keilmuan. Berikut agenda-agenda dan strategi yang dapat diusulkan untuk pengembangan perpustakaan ke depan.
A. Grand Design
Pada dasarnya perpustakaan merupakan lembaga pelayanan publik. Oleh karena itu orientasi kegiatan perpustakaan yang selama ini lebih terfokus pada proses internal kelembagaan perlu diubah menjadi perpustakaan yang berorientasi kepada kebutuhan eksternal (pemakai). Layanan perpustakaan tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemakai dan dilakukan dengan cara yang terbaik sehingga dapat memuaskan masyarakat penggunanya.
Untuk mewujudkan perpustakaan yang berorientasi kepada pemakai, Renstra Perpusnas 2000-2004 telah mengakomodasi sejumlah usulan yang diperlukan dengan bertumpu pada kebijakan yang berorientasi kepada peningkatan produktifitas, efektifitas, dan efisiensi pelayanan perpustakaan sesuai kebutuhan masyarakat; peningkatan minat baca masyarakat melalui layanan perpustakaan; penyusunan, penerbitan, dan pendistribusian pedoman di bidang perpustakaan; peningkatan kualitas layanan perpustakaan; diversifikasi dan promosi layanan perpustakaan.
Upaya tersebut dapat diimplementasikan dalam sebuah kerangka besar (grand design) yang komprehensif, baik menyangkut konsep maupun langkah-langkah konkret pelaksanaannya.
Renstra juga telah menginventarisir sejumlah strategi, kebijakan pembinaan dan pengembangan perpustakaan yang antara lain meliputi diseminasi informasi, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM di bidang perpustakaan, pembinaa dan pengembangan semua jenis perpustakaan, peningkatan minat dan kebiasaan membaca, peningkatan partisipasi dan apresiasi masyarakat terhadap perpustakaan, peningkatan koordinasi program pembangunan perpustakaan Pusat dan Daerah, pelestarian bahan pustaka hasil budaya bangsa, pengembangan peraturan perundangan di bidang perpustakaan, memacu pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan koleksi serta sarana dan prasarana perpustakaan, pemberdayaaan seluruh potensi sumber daya perpustakaan, peningkatan kualitas dan peran pustakawan, serta peningkatan dan pemanfaatan kerjasama dengan instansi terkait.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana sejumlah rencana ideal tersebut mampu terimplementasikan dalam tataran realitas objektifnya secara konkret. Hal lain yang juga penting adalah bahwa grand design tersebut selayaknya tidak dirancang oleh Perpusnas secara sepihak, namun dibuat secara terrencana dengan pihak-pihak lain seperti Depdiknas, Depdagri, Depag, Kementerian Riset, dan lembaga lainnya secara simultan. Pada proses evaluasi dan monitoring, pelibatan lembaga lain juga penting agar kerjasama yang telah dibangun itu lebih menghasilkan nilai tambah bagi semua pihak secara signifikan.
B. Public Campaign
Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa tujuan utama pembangunan perpustakaan adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan informasi melalui pembinaan semua jenis perpustakaan dan pelestarian bahan pustaka hasil budaya bangsa dalam upaya terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, terampil, kreatif, inovatif, menguasai IPTEK, berakhlak mulia, dan berwawasan kebangsaan.
Salah satu langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk menggalakan apresiasi kepustakaan dan menumbuhkan minat baca masyarakat adalah dengan mengadakan program Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB). Promosi gerakan ini bahkan telah didukung secara langsung dengan “Deklarasi Pencanangan Gerakan Membaca Nasional” pada tanggal 12 November 2003 saat Megawati menjadi presiden. Namun demikian, deklarasi yang ditandatangani Mendiknas Malik Fadjar, Kepala Perpusnas Dady P. Rachmananta, dan Mendagri Hari Sabarno kini nyaris tak terdengar, bahkan tenggelam seiring pergantian rezim di negeri ini. Padahal, semangat belajar dan minat baca masyarakat harus senantiasa terjaga. Ia tak semestinya lekang oleh cuaca politik dan tergilas roda zaman.
Semangat belajar dan minat baca masyarakat harus terus dikampanyekan sehingga mampu membuka ruang kesadaran masyarakat agar mampu memfungsikan perpustakaan sebagaimana simbolisasinya: “laksana buku terbuka, nyala obor, dan dua tangan terkatup dengan lima jari menopang”. Ini merupakan bagian dari simbol perpustakaan yang melambangkan sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa berkembang, menjadi pelita dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melukiskan dinamika ilmu pengetahuan baru yang dapat dicapai melalui pembinaan pendidikan seutuhnya dengan ditunjang oleh sarana pustaka yang lengkap.
C. Rethinking
Di tengah berbagai persoalan yang menghantui dunia perpustakaan, dunia saiber pun terus memuntahkan situs-situs baru dengan ragam informasi yang mencengangkan. Sementara itu, kita masih bergelayut dengan persoalan-persoalan yang tak kunjung usai: minimnya sarana, rendahnya kualitas SDM perpustakaan, rendahnya minat baca, tingginya pajak buku, harga kertas, dan persoalan pelik lainnya. Mampukah perpustakaan tertahankan jatidirinya sebagai ‘jendela dunia’ di tengah hingar-bingarnya cyberspace dan cybermedia?
Agaknya, kita harus mulai melakukan rethinking, menafsir ulang pemaknaan perpustakaan dalam hidup dan kehidupan kita. Bahwa buku tak harus identik dengan kertas. Melalui CD-ROM yang lebih sederhana, lebih ekonomis, dan lebih ramah lingkungan kita pun dapat menyaksikan ‘jendela dunia’ yang sama. Demikian pula internet yang menawarkan halaman luas tak berbatas. Seperti halnya buku, ia adalah jendela dunia yang termodifikasi lewat teknologi informasi.
Sebagai contoh, tengoklah situs Project Gutternberg di (http://www. guttenberg.org). Di sini ribuan buku dapat diakses secara gratis melalui browser internet. Masih banyak situs lainnya yang menawarkan hal yang sama. Fenomena ini tentu harus menggugah kesadaran kita --terutama pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam dunia perbukuan-- akan pentingnya membuat terobosan yang sinergis dan kontekstual sesuai tantangan zamannya.
Perlu disadari, abad cybermedia kini ibarat pisau bermata dua. Ia dapat saja menjadi sumber bencana bagi dunia perbukuan, tapi lebih mungkin membawa hikmah yang tak ternilai. Ia datang membawa ancaman, tapi sekaligus memberi peluang. Persoalannya kemudian berpulang pada kemampuan, kearifan, kesiapan, dan kesediaan kita dalam memaknai berbagai perubahan selama ini. Bagaimana kita mampu mengubah sejumlah kendala menjadi peluang, mendefinisikan ancaman sebagai hikmah yang terpendam.
Kini, sudah saatnya kita turut merebut peluang dari kemudahan teknologi informasi itu. Berbagai terobosan dapat diupayakan untuk memperkuat basis peran Perpusnas saat ini. Pembuatan buku digital, konversi naskah dari buku-buku manual ke versi elektrik serta pembuatan digital net-library merupakan contoh agenda yang dapat dipersiapkan.
Dengan berbagai terobosan strategis seperti itu, perpustakaan –apa pun bentuknya, manual atau digital— akan tetap merupakan sumber informasi yang utama. Ia ibarat jendela dunia, tempat mengintip hidup dan kehidupan manusia. Lewat perpustakaan kita dapat menyibak masa silam sekaligus menyusuri cakrawala masa depan yang penuh dengan hamparan kemungkinan.
***