By: Sofian M. Asgart
Urgensi Keragaman Hayati
Konsep keragaman hayati yang meliputi gen, spesies hingga ekosistem, merupakan hal yang urgen bagi pelestarian lingkungan hidup. Pemahaman tentang hal ini menjadi syarat mutlak bagi upaya pembangunan Sumber Daya Alam (SDA) yang berkelanjutan. Apabila keragaman hayati diartikan sebagai keragaman kehidupan pada tingkat gen, spesies, ekosistem dan proses-proses eko-biologis, maka Indonesia merupakan negara megabiodiversity terbesar kedua di dunia setelah Brazil, dan terbesar di dunia dalam hal keragaman hayati laut. Hal ini dipastikan setelah
Melihat kenyataan itu, tidak mengherankan apabila pihak asing begitu berkepentingan terhadap SDA Indonesia sehingga mereka sangat antusias melakukan berbagai penelitian mengenai keragaman hayati di negeri ini. Karena itu, sebagai negara dengan tingkat keragaman hayati tinggi, sudah selayaknya Indonesia melakukan upaya proteksi, terutama dalam kaitannya dengan isu global tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang akhir-akhir ini kian mengemuka.
Fenomena tersebut sekaligus menuntut pemerintah untuk lebih serius dalam menangani potensi keragaman hayati dengan menciptakan peraturan yang kondusif, misalnya membuat undang-undang yang mengatur pembagian keuntungan atas pemanfaatan plasma nutfah
Oleh karena itu, jika
Berbagai kasus menunjukkan bahwa hingga kini yang dilindungi di
Sebelumnya, para ilmuwan dunia memperkirakan Indonesia hanya memiliki sekitar 20.000 jenis tumbuhan berkambium (berkayu), jauh lebih kecil dibandingkan Brazil yang memiliki 40.000 jenis tumbuhan berkambium.
Namun menurut kesimpulan dari 90 ilmuwan yang mengikuti Lokakarya "Penentuan Prioritas Konservasi Keanekaragaman Hayati Irian Jaya" yang diprakarsai Conservation International Indonesia Program (CI-IP) dilaporkan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama dalam daftar negara dengan keragaman hayati tertinggi di dunia. Di Irian Jaya saja terdapat lebih dari 25.000 jenis tumbuhan berkambium. Selain itu, di Irian Jaya juga ditemukan kira-kira 164 spesies mamalia, 329 spesies reptilia dan amphibia, 650 jenis burung, 250 spesies ikan air tawar, 1.200 spesies ikan laut, 1.500 spesies serangga, dan beratus-ratus avertebrata air tawar dan laut. Jumlah ini tentu saja akan lebih banyak lagi bila ditambah berbagai keragaman hayati dari pulau-pulau lainnya di seantero nusantara.
Dengan demikian, potensi keragaman hayati Indonesia sesungguhnya menempati posisi teratas, mengalahkan Brazil. Dalam kaitan ini, Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja, menyebutkan pula bahwa sebagian besar spesies ikan dunia terdapat di wilayah perairan laut Indonesia. Dari ribuan spesies ikan dunia itu, sekitar 37 persennya atau 2.000 spesies berada di Indonesia. Ini tentu belum termasuk spesies lain, seperti hewan karang yang berjumlah ratusan jenis.
Karena itu, SDA nasional baik yang terdapat di darat, di pesisir, maupun di lautan, kini menjadi tumpuan harapan bagi negara. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan kesinambungan pembangunan bangsa di masa depan, karena bukti telah menunjukkan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia kehidupannya ditopang langsung oleh keragaman hayati, mulai dari hutan, pertanian, pesisir pantai, danau sampai sungai. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa bagi Indonesia saat ini adalah abad hayati di mana kemajuan pembangunannya akan sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengelola dan memanfaatkan keragaman hayati sebagai sumber potensi.
Meski dunia internasional telah mengakui potensi keragaman hayati Indonesia, sebagian besar penduduk Indonesia justru masih sedikit yang menyadarinya. Akibatnya, bukan saja terjadinya kesulitan dalam mengapresiasi aset nasional yang begitu besar ini, tetapi tanpa sadar berbagai kerusakan lingkungan pun telah mewabah ke berbagai habitat kehidupan. Kondisi seperti ini tentu saja sangat mengancam berkurangnya atau bahkan musnahnya sebagian besar keragaman hayati. Hingga kini banyak ditemukan kasus yang memprihatinkan berkaitan dengan perusakan lingkungan yang sekaligus mengancam potensi keragaman hayati di tanah air. Beberapa persoalan itu, antara lain:
1. Perusakan Cagar Alam
Dalam catatan Kompas dua tahun terakhir ini, sedikitnya ada tujuh cagar alam yang mengalami perusakan cukup serius. Cagar Alam Muara Angke di Jakarta Utara yang sebelumnya tampak rimbun dan asri, kini jadi merana dan kian kumuh. Jika dulu akar-akar bakau tampak bersinggungan langsung dengan gelombang laut, sekarang akar-akar itu digayuti tumpukan sampah, besi tua, eceng gondok, dan limbah padat lainnya. Akibatnya, cagar alam yang memiliki luas hanya 25,02 hektar itu nyaris kehilangan pamornya sebagai kawasan konservasi andalan di Ibukota.
Cagar Alam Leuweung Sancang (CALS) di Garut Jawa Barat juga mengalami nasib yang sama. CALS yang kaya dengan keragaman hayati dan memiliki berbagai jenis fauna yang dilindungi kondisinya kini rusak berat. Cagar alam yang antara lain dihuni banteng Jawa (Bos Javanicus), kucing hutan (Felix Bengalentis), macan tutul (Pantherapandus), kancil (Iragulus Javanicus), owa (Hylobater Molocn), rangkong (Buceros Rhinoceros), burung kipas (Rhipidura Javanica), kangkareng (Anthrococeros Malabaricus) dan merak (Pava Mutius) ini keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Diperkirakan sekitar separuh dari kawasan CALS telah diobok-obok para penjarah, sedangkan pemerintah setempat hingga kini belum berhasil mengatasinya.
Sementara itu, dari Pontianak juga dikabarkan keberadaan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP), Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, kini mulai di ambang kehancuran. Sekitar 30 persen dari 90.000 hektar luas kawasan itu mengalami kerusakan yang cukup parah, menyusul penebangan kayu ilegal secara besar-besaran selama dasawarsa terakhir. Akibatnya, puluhan jenis keragaman hayati terancam punah.
Hal serupa juga terjadi di Cagar Biosfer Bukit 12 Jambi, kawasan hutan Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Way Kambas di Lampung Timur, dan Taman Nasional Gunung Halimun di Jawa Barat. Berbagai perilaku yang kurang bertanggung jawab telah banyak merenggut khazanah keragaman hayati sehingga menimbulkan banyak kerugian. Fenomena seperti ini tentu terjadi pula di tempat-tempat lain yang belum terdeteksi.
2. Pencemaran Laut dan Degradasi Habitatnya
Permasalahan yang menjurus ke arah perusakan dan pencemaran laut serta kawasan pesisir kini makin menggejala. Pencemaran pantai, penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan terutama perusakan terumbu karang merupakan persoalan yang kerap muncul di depan mata. Terumbu karang yang semula tumbuh subur di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa, kini telah seluruhnya hancur lebur dan sirna, sehingga boleh dikatakan hanya tinggal kenangan. Demikian pula di kawasan pesisir lainnya, telah mengalami kerusakan yang serius.
Hancurnya terumbu karang di sepanjang pantai tersebut, antara lain akibat masih rendahnya pengetahuan penduduk
3. Deforestasi
Persoalan kehutanan di
Selama ini pembangunan lebih terfokus pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan aspek ekologis kurang diperhatikan. Hal ini telah memberikan implikasi yang sangat luas, seperti deforestasi yang sangat mengkhawatirkan dan plasma nutfah diyakini telah banyak dikorbankan, sementara fungsi lingkungan yang sangat mendasar bagi kehidupan telah terabaikan.
Dari beberapa studi ditemukan bahwa virgin forest pada berbagai fungsi hutan sudah berkurang, sebaliknya logged over area semakin meluas. Meskipun dari luas total virgin forest berkisar 69 hektar, namun saat ini yang terdapat dalam hutan produksi hanya tinggal 27 hektar, sedangkan logged over area mencapai 22 juta hektar.
Sementara itu, kemampuan virgin forest yang ada untuk menghasilkan kayu terus menurun. Bahkan, pada kawasan konservasi, luas virgin forest hanya sekitar 20,9 juta hektar. Selain itu, tingkat kerusakan akibat perambahan, kebakaran, dan lain-lain telah mencapai tujuh juta hektar. Tidak heran jika Bank Dunia, berdasarkan citra satelit memprediksi bahwa tanpa antisipasi yang baik, hutan dataran rendah di Pulau Sulawesi akan habis. Hal serupa akan terjadi pada hutan dataran rendah di Pulau Sumatera, yang diperkirakan akan habis pada tahun 2005 mendatang. Sementara di Pulau Kalimantan diperkirakan hanya akan sanggup bertahan hingga tahun 2010. Padahal, menurut Wakil Ketua LIPI, Dr. H. Suparka, hutan dataran rendah itu justru merupakan kawasan yang sangat kaya dengan keragaman hayati.
Dengan demikian, tantangan yang sedang dihadapi saat ini dan masa mendatang dalam mengelola konservasi sumber daya alam hayati dan ekonomi akan semakin meningkat. Timbulnya konflik kepentingan kawasan konservasi dengan berbagai kegiatan pembangunan yang lebih menekankan aspek ekonomi menyebabkan tekanan masyarakat terhadap kawasan konservasi dan potensi alam hayati dan ekosistemnya semakin besar. Jika kondisi ini tidak segera diatasi dan diantisipasi, maka akan mengancam kelestarian keragaman hayati Indonesia, menurunkan kualitas dan kuantitas keragaman hayati, serta perusakan ekosistem.
***
Berbagai persoalan tersebut tentu tidak boleh berhenti hanya sekadar menyentuh dan menggugah keprihatinan. Namun demikian, harus mampu membuahkan kerja nyata untuk melakukan berbagai upaya antisipatif sebagai solusinya. Upaya ini pun tidak dapat dibebankan pada satu pihak semata, tetapi perlu menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat pada umumnya.
Perlu disadari bahwa seberapa pun besarnya upaya konservasi lingkungan tidak akan mampu mencegah laju perusakan lingkungan, tanpa disertai kebijakan komprehensif yang menunjang terciptanya kesadaran dan sikap proaktif semua pihak. Karena itu, upaya proteksi keragaman hayati dalam konteks isu global tentang HKI akan menjadi signifikan jika diaktualisasikan secara simultan. Untuk itu, “jurus” Emil Salim berkaitan dengan penyadaran akan arti penting lingkungan hidup dan potensi keragaman hayati --melalui pendidikan, penegakkan hukum yang tegas dan public awareness lewat media massa-- merupakan salah satu jalan keluar yang baik untuk dipikirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar