Senin, 30 Maret 2009

Konsep Pengembangan Perbankan Syariah

 
 By: Sofian Munawar Asgart

 

Ketika dunia perbankan konvensional mengalami keterpurukan
akibat diterpa krisis, kinerja perbankan syariah justru kian mengesankan.
Kini, makin banyak pihak yang berharap agar perbankan syariah terus berkiprah. Mampukah perbankan syariah menyambut harapan itu ?
Apa saja peluang dan tantangan yang dihadapinya ?
 Lalu, bagaimana konsep pengembangan perbankan syariah ke depan ?
Beberapa hal inilah yang akan dideskripsikan dalam tulisan ini.

 
Menyambut Harapan Umat

Meskipun keberadaan bank syariah belum sepopuler bank konvensional, namun perkembangannya dalam tiga tahun terakhir ini cukup menggembirakan. Penelitian Bank Indonesia (BI) pada tahun 2000-2001 mengenai potensi, preferensi, dan perilaku masyarakat terhadap perbankan syariah menunjukkan optimisme yang menjanjikan.

Optimisme perkembangan perbankan syariah yang menunjukkan sentimen positif itu didukung oleh semakin meningkatnya pemahaman, keinginan, serta harapan masyarakat muslim untuk melakukan transaksi perbankan sesuai dengan prinsip syariah yang bebas bunga. Berbeda dengan sistem perbankan konvensional, perbankan syariah menganut transaksi yang untung dan ruginya ditanggung bersama antara bank dan nasabah. Karena itu, pemasukan bank tergantung dari dana yang bergulir di sektor riil. Bukan berupa bunga, melainkan keuntungan yang didapat dari bagi hasil.

Secara umum, sistem perbankan syariah mengenal beberapa prinsip, antara lain prinsip jual beli (da’í), prinsip sewa (ijarah), prinsip bagi hasil (syirkah), dan akad pelengkap. Dari beberapa prinsip ini, prinsip bagi hasil merupakan produk perbankan syariah paling populer. Bahkan, dapat dikatakan produk ini merupakan trademark-nya perbankan syariah. Prinsip bagi hasil yang dianut oleh perbankan syariah menjadi menarik, setidaknya, karena dua hal. Pertama, nasabah akan terhindar dari riba namun tetap mendapat manfaat dan keuntungan dari transaksi perbankan. Kedua, manfaat bagi para bankir dan investor. Prinsip bagi hasil yang dianut oleh perbankan syariah membuat risiko kerugian semakin kecil karena praktek spekulasi atau dampak gejolak moneter dapat diminimalisir.

Keunggulan komparatif itu yang kini menarik perhatian investor untuk turut ‘bermain’ dalam perbankan syariah. Menurut data BI, hingga kini terdapat dua bank umum syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri dengan total 44 kantor cabang, 8 kantor pembantu, dan 44 kantor kas. Selain itu, terdapat enam bank umum konvensional yang membuka gerai syariah yaitu Bank IFI, Bank Jabar, BNI, Bukopin, BRI, dan Bank Danamon, serta terdapat 83 BPR syariah.

Secara umum, kinerja perbankan syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dari segi pertumbuhannya, perbankan syariah dalam periode 1998-2002 mencapai 57,6 persen, sedangkan perbankan nasional tumbuh hanya 12,3 persen. Dari sisi kualitas penyaluran dana nonlancar, perbankan syariah mencatatkan angka sebesar 4,04 persen yang berarti masih jauh di bawah patokan angka kredit nonlancar secara nasional 12 persen. Sementara pertumbuhan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) juga terus mengalami peningkatan. Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Anwar Nasution, tambahan DPK perbankan syariah memberikan kontribusi sebesar 2,9 persen dari total tambahan DPK perbankan nasional. Kontribusi DPK terhadap total aset perbankan syariah meningkat dari tahun 2001 sebesar 66,4 persen menjadi 71,4 persen pada tahun 2002. Pesatnya pertumbuhan DPK perbankan syariah ini memberikan indikasi adanya respons positif dari masyarakat.

Secara umum, perkembangan aset perbankan syariah dapat disimak pada tabel berikut.

 

 

Data ini menunjukkan bahwa perkembangan perbankan syariah cukup signifikan. Karena itu, tidaklah berlebihan jika banyak pihak berharap agar perbankan syariah terus meningkatkan kiprahnya.

 

Peluang dan Tantangan

            Sejak tahun 1998 atau tepatnya sejak dikeluarkannya UU No.10/1988, pertumbuhan perbankan syariah meningkat pesat. Menurut ketentuan UU No.10/1998 ini, perbankan Indonesia mengakomodasi dua sistem (dual banking system), yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Melalui UU ini, pengembangan perbankan syariah dapat dilakukan melalui tiga model. Pertama, bank dapat menkonversi dirinya menjadi bank syariah. Kedua, bank dapat menkonversi sejumlah cabangnya menjadi cabang syariah atau membuka cabang baru syariah. Ketiga, membuka bank baru syariah.

Dalam perkembangan selanjutnya, lahir pula UU No.23/1999 yang secara operasional turut mendukung implementasi perbankan syariah. Kedua peraturan ini, secara legal formal telah membuka peluang bagi pengembangan perbankan syariah nasional. Namun demikian, banyak pihak menilai peraturan mengenai perbankan syariah belum memadai. Sampai saat ini, belum ada beleid khusus yang mengatur perbankan syariah secara komprehensif. Padahal, perangkat perundang-undangan ini sangat diperlukan agar perbankan syariah mampu berkomunikasi dengan sistem perbankan lainnya. Kurang memadainya peraturan perundang-undangan ini menjadi kendala tersendiri bagi pengembangan perbankan syariah ke depan.

Sementara itu, Dirut BMI A. Riawan Amin menilai keterbatasan jaringan merupakan kendala terbesar yang dihadapi perbankan syariah. Umat Islam Indonesia saat ini kurang lebih berjumlah 180 juta. Kalau yang menganggap bank syariah mutlak tak tergantikan (loyalis syariah) mencapai 10 persen saja, berarti potensi nasabah bank syariah mencapai 18 juta. Namun karena terbatasnya jaringan yang dimiliki perbankan syariah, peluang itu belum dapat dimanfaatkan secara optimal.

Senada dengan itu, pengamat ekonomi syariah, Adiwarman A. Karim, menyebutkan tiga kendala utama yang dihadapi industri perbankan syariah. Pertama, kalangan perbankan syariah umumnya masih mengandalkan sentimen fanatisme agama dan ‘loyalis syariah’. Padahal, pasar yang mengambang (floating market) juga memiliki potensi yang besar. Kedua, masih ditemukannya mispersepsi masyarakat terhadap perbankan syariah. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa perbankan syariah merupakan alat untuk membiayai perjuangan umat Islam. Ketiga, belum lengkapnya regulasi perbankan syariah. Contohnya, belum ada aturan baku mengenai kalkulasi kualitas aktiva produktif (KAP), rasio kecukupan modal (CAR), dan treasury perbankan syariah.

Kendala lain yang juga menjadi tantangan bagi perbankan syariah adalah keterbatasan sumber daya insani (SDI). Ini perlu mendapat perhatian karena keberhasilan perbankan syariah juga akan sangat tergantung dari SDI-nya, baik berupa keterampilan, maupun kualitas manajemennya.

            Namun demikian, berbagai kendala dan tantangan itu tidak semestinya menjadi penghalang. Sebaliknya dan sebaiknya kendala itu ditafsirkan sebagai peluang untuk meningkatkan kiprah perbankan syariah sekaligus merancang konsep pengembangannya secara simultan.

 

Konsep Pengembangan ke Depan

            Dengan memperhatikan beberapa kendala dan tantangan yang menjadi persoalan perbankan syariah, setidaknya, ada lima perkara yang penting untuk dirumuskan.

            Pertama,  secara struktural diperlukan itikad baik dan kemauan politik (good will and political will) dari pemegang kekuasaan untuk memberdayakan lembaga keuangan syariah dalam konstelasi sistem moneter nasional secara proporsional. Terbatasnya akomodasi persoalan perbankan syariah dalam perangkat hukum yang ada perlu segera diantisipasi. Mantan Deputi Gubernur BI, Achjar Ilyas pernah mengusulkan agar UU Perbankan diamandemen atau bahkan segera dibuat UU Perbankan Syariah secara tersendiri. Sikap proaktif pemerintah dan kalangan legislatif tentu sangat ditunggu, karena perangkat regulasi perbankan yang ada sekarang dinilai kurang memberi ruang bagi perbankan syariah. Para legislator itu juga diharapkan mampu melakukan penyempurnaan dan penyusunan ketentuan operasional bank syariah yang dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat tanpa mengabaikan prinsip syariah.

            Kedua, mengupayakan aliansi dan sindikasi. Perbankan syariah perlu melakukan aliansi taktis dan sindikasi secara strategis dengan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti lembaga takaful dan reksadana syariah. Sinergi juga perlu dibangun dengan elemen-elemen lain yang terkait dengan ekonomi syariah. Gerakan Ekonomi Syariah (GES) yang kini sedang digalakan Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan contoh kerjasama yang positif. Namun demikian, proyek kerjasama seperti ini tentunya jangan bersifat seremonial dan temporal belaka. Lebih dari itu, diperlukan agenda-agenda aksional yang konkret secara berkelanjutan. Aliansi dan sindikasi juga dapat dilakukan dengan komunitas yang lebih luas, seperti lembaga pendidikan, institusi keagamaan, media massa, dan kelompok strategis lainnya. Dengan upaya ini diharapkan ekonomi syariah dapat menjadi mainstream wacana publik di tanah air. Sindikasi juga dapat diusahakan melalui kerjasama dengan perbankan syariah internasional. Ini diperlukan untuk mempercepat pengembangan produk dan jasa, perluasan pasar, serta merangsang masuknya investasi asing yang menguntungkan.

            Ketiga, melakukan penguatan SDI. Sebagai sebuah industri jasa, perbankan syariah dituntut kesiagaannya dalam menghadapi kompetisi global. Dalam iklim persaingan yang makin ketat, kesiapan SDI tidak saja terbatas soal skill dan kualitas manajemen, tapi juga penguasaan teknologi perbankan secara simultan. Untuk mewujudkan bank syariah yang modern diperlukan perangkat teknologi informasi yang mempunyai spesifikasi sesuai dengan operasionalisasi bank syariah. Teknologi informasi yang dimiliki harus mampu meningkatkan kualitas pelayanan, menunjang pengembangan usaha, mereduksi biaya, dan mampu menyajikan sistem informasi yang akurat, sehingga tercipta bank syariah yang kompetitif dan efisien.

            Keempat, melakukan sosialisasi secara terpadu. Sosialisasi perbankan syariah di Indonesia baru menyentuh kalangan menengah ke atas. Wajar jika pangsa pasarnya kini masih sangat terbatas. Agaknya, kita perlu belajar pada Bank Rakyat Malaysia yang melakukan sosialisasi hingga ke kampung-kampung. Tak heran jika bank syari’ah di negeri jiran itu kini tumbuh menjadi salah satu bank syariah yang diperhitungkan.

            Sejatinya, banyak sarana yang dapat dijadikan media sosialisasi perbankan syariah. Beberapa diantaranya yang penting dan strategis, antara lain institusi pendidikan, institusi keagamaan, dan media massa. Melalui institusi pendidikan, kita dapat melakukan public education mengenai perbankan syariah. Hal yang sama juga dapat dilakukan pada institusi keagamaan seperti halnya MUI. Dalam hal ini, para ulama dapat dijadikan ujung tombak untuk melakukan public campaign soal perbankan syariah. Sementara di media massa, kita dapat membuat semacam portal syariah. Melalui situs ini kita dapat melakukan akses dan pertukaran informasi seputar ekonomi syariah secara simbiosis mutualistis.

            Kelima, syariah community development. Point ini barangkali lebih bersifat ‘kultural’ namun memiliki peran yang fundamental. Pemerkuatan komunitas basis yang apresiatif terhadap perbankan syariah dan ekonomi syariah pada umumnya akan saling terkait dengan keempat point sebelumnya. Keterjalinan yang saling menunjang ini dapat divisualisasikan dalam bagan berikut.  

 

          

Beberapa point tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengembangan perbankan syariah ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar