Ternyata, Golput Pemenang
Pemilu 2009
Pemilu 2009 menjadi harapan sekaligus pertaruhan besar bagi bangsa dan rakyat
Namun di tengah harapan yang besar itu, muncul pula kekhawatiran akan gagalnya proses politik yang demokratis itu. Sejumlah kekhawatiran itu muncul terutama karena proses politik ke arah itu masih menyiratkan minimnya partisipasi publik di satu sisi dan kuatnya oligarki partai di sisi yang lain. Kondisi ini menyebabkan Pemilu yang semestinya menjadi media efektif untuk mengagregasikan harapan rakyat kemudian terjerembab sekadar menjadi pesta demokrasi untuk mengantarkan elit politik semata. Dalam konteks ini Pemilu 2009 masih gagal menjadi sarana representasi sejati. Ini setidaknya ditunjukan oleh tingkat partisipasi pemilih (registered voters turnout) yang rendah. Bahkan tingkat partisipasinya mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya, yaitu: 76,66 persen pada pemilu 2004 dan kini menjadi “hanya” 60,78 persen.
“Kemenangan” Golput
Pemilu 2009 secara umum memang bisa dikatakan ‘berhasil’ karena sudah terlaksana secara lancar, aman dan damai. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Pemilu 2009 masih menyisakan sejumlah persoalan yang mengganjal. Selain sengketa Pemilu yang masih menumpuk akibat beragam kecurangan, rendahnya partisipasi pemilih menjadi catatan merah tersendiri. Hal ini setidaknya dapat menunjukkan tiga persoalan. Pertama, kegagalan KPU dalam menunaikan agenda-agenda Pemilu, terutama dalam melakukan sosialisasi secara massif. Kedua, malfungsinya partai sebagai lembaga perwakilan. Ketiga, belum hadirnya partai alternatif yang membawa agenda-agenda kerakyatan secara signifikan. Ketiga soal itu setidaknya tergambar dari tingginya Golput, entah itu Golput administratif karena tidak terdaftar sebagai pemilih dan suara tidak sah maupun Golput ideologis karena mereka tidak punya alternatif pilihan selain memilih untuk tidak memilih.
”Kemenangan” Golput pada Pemilu 2009 memang sudah diprediksikan banyak pihak. Ini tentu tidak lepas dari tiga soal di atas: ketidaksiapan KPU dan sikap muak sebagian besar rakyat terhadap partai politik yang ada kian meningkat. Tak heran jika pemerintah dan partai politik begitu keras berupaya untuk melawan arus besar wacana Golput meski upaya itu ternyata tidak cukup efektif. Pemerintah bahkan harus ’meminjam tangan’ MUI untuk menerbitkan fatwa ”haram Golput’. Sementara petinggi PDI-P, Megawati dengan gencarnya mengkampanyekan bahwa Golput adalah pengkhianat reformasi. Namun begitu, beragam upaya itu seolah sia-sia dan kekhawatiran meningkatnya Golput pada akhirnya terbukti: Golput menjadi pemenang pemilu 2009! Berikut rekap suara dan perolehan kursi DPR-RI.
Rekapitulasi Pemilu Legislatif 2009
Suara dan Kursi DPR-RI
No Partai Perolehan Suara Perolehan Kursi Suara % Kursi % 1 Partai Demokrat 21.703.137 20,85 148 26,43 2 Partai Golkar 15.037.757 14,45 108 19,29 3 PDIP 14.600.091 14,03 93 16,61 4 PKS 8.202.955 7,88 59 10,54 5 PAN 6.254.580 6,01 42 7,50 6 PPP 5.533.214 5,32 39 6,96 7 Partai Gerindra 4.646.406 4,46 30 5,36 8 PKB 5.146.122 4,94 26 4,64 9 Partai Hanura 3.922.870 3,77 15 2,68 10 PBB 1.864.752 1,79 0 0 --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- 44 Jumlah Suara Sah 104.009.785 60,78 560 100 Jumlah Suara Tidak Sah 17.488.581 39,22 --- --- Jumlah Pemilih Sesuai DPT 153.686.861 100 --- --- Golput 49.677.076 29,01 --- ---
Dengan menyimak rekapitulasi angka-angka pemilu legislatif tersebut, secara jelas dan meyakinkan dapat dikatakan bahwa Golput merupakan pemenang Pemilu 2009. Ini sekaligus juga menunjukkan bahwa partai-partai yang ada –dan bahkan partai pemenang pemilu sekalipun– kalah dengan Golput. Lantas, apa sebetulnya rasionalitas dibalik fenomena ’kemenangan’ Golput itu? Sementara pihak menilai bahwa Golput yang ideologis merupakan indikasi dari semakin tingginya tingkat kesadaran politik masyarakat. Karena tidak tersedianya saluran alternatif yang mengakomodasi kepentingannya, mereka secara rasional dapat menentukan pilihan politiknya sendiri, termasuk diantaranya memilih menjadi Golput!
Fenomena Golput juga dapat diartikan sebagai social punishment yang dilakukan rakyat sebagai pemilih terhadap para elite, khususnya politisi yang dianggap telah menciderai kepercayaan rakyat. Selain itu, fenomena tingginya angka Golput juga seolah menunjukkan ”disconnected democracy”, semacam dua kedaulatan politik yang berjalan sendiri-sendiri, yakni antara politik elite dan politik aras bawah masyarakat pada umumnya. Dalam bahasa yang hampir sama, Sosilog Daniel Sparringa menyebutnya sebagai rasionalitas pemilih. Menurutnya, rasionalisme rakyat dengan pilihannya ini telah menghakimi elite yang selama ini mengecewakan rakyat sehingga suara Golput meningkat.
Menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) suara Golput tentu harus dilirik ulang. Karena bagimana pun suara yang demikian besar itu akan sangat signifikan. Bahkan akan menjadi penentu kemenangan. Siapa pun yang mampu memanfaatkan suara Golput di Pilpres nanti, sesungguhnya dialah yang akan menjadi pemenang! Namun begitu, hal terpenting dari fenomena Golput 2009 adalah pembelajaran demokrasi bagi bangsa ini. Bahwa ekspektasi alternatif masyarakat yang antara lain dimanifestasikan melalui Golput tidak dapat dibendung oleh siapa pun, termasuk oleh fatwa MUI dan beragam stigmatisasi. Golput barangkali hanya bisa dieleminasi dengan mengakomodasi beragam ekspektasi masyarakat seluas-luasnya melalui perbaikain model representasi yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar