Jumat, 03 April 2009

BEBAN MAKIN SARAT, JAKARTA KIAN PENAT ...

Mimbar Umat, 4 April 2000

 Entah sampai kapan Jakarta akan tetap menjadi ajang "perburuan". Dari hari ke hari migrasi ke Jakarta tak pernah berhenti. Sementara aktivitas sosial-politik yang cenderung sentralistik telah memaksa proses urbanisasi kota Jakarta kian tak tertahankan. Padahal, lahan Ibukota yang luasnya hanya sekitar 650 kilometer persegi itu sudah terlalu sempit untuk menampung jutaan penduduk dengan segudang persoalan sosial dan lingkungan hidupnya. Mampukah Jakarta bertahan dari saratnya beban dan kepenatan ?

 

Marni, 18 tahun, adalah seorang gadis yang saban hari bertugas sebagai pencari dana untuk sebuah yayasan sosial di Subang, Jawa Barat. Ia ternyata tidak sendirian. Bersama puluhan koleganya, Marni bergerilya tiap hari di pusat-pusat keramaian Ibukota: terminal, stasiun kereta, pasar, dan di beberapa persimpangan jalan.

Di tempat-tempat itu Marni harus siap bersaing sepanjang hari. Bukan saja dengan teman-teman seprofesi dari puluhan yayasan serupa lainnya, tapi juga dengan pengamen dan pengemis yang jumlahnya tiada terkira. Sementara para pedagang asongan yang datang silih berganti dengan menawarkan berbagai produknya yang beragam, tampak menyempurnakan ketatnya pergulatan hidup di antara mereka. Padahal, sebagian besar dari mereka mengaku sebagai pendatang dan tidak memiliki tempat tinggal tetap di Jakarta.

Ilustrasi tersebut tentu hanya salah satu bagian kecil dari potret sosial yang menggambarkan betapa tingginya arus migrasi ke Jakarta. Sementara berbagai aktivitas sosial-politik yang cenderung sentralistik telah memaksa proses urbanisasi kota Jakarta berjalan demikian cepatnya. Mungkin ada 1001 alasan orang untuk datang dan bertahan di Jakarta, meski tak memiliki tempat tinggal sekalipun.

 ***

 Persoalan urbanisasi merupakan hal pelik yang kerap dihadapi negara berkembang. Seperti diakui pakar sosiologi dari Jepang, Shago Koyano bahwa pemerintah kota yang menjadi sasaran urbanisasi seringkali mengeluh, karena urbanisasi sendiri sering menimbulkan kantong-kantong kemiskinan, terutama di kalangan kaum urban yang tidak terdidik dan tidak memiliki keterampilan. Tidak heran jika Gubernur DKI, Sutiyoso, begitu serius pasang kuda-kuda untuk membendung arus pendatang. "Hanya pendatang yang memiliki keahlian, keterampilan dan pekerjaan yang jelas yang dipersilahkan masuk ke Jakarta," ujarnya beberapa waktu yang lalu.

Dalam pandangan Ketua Komisi D DPRD DKI, Sayogo Hendrosubroto, langkah Sutiyoso untuk membendung arus pendatang ke Jakarta dapat dipahami karena selama ini urbanisasi yang tak terkendali di Jakarta jelas-jelas telah membawa dampak sertaan yang merisaukan. "Tidak sedikit para pendatang yang tak memiliki keahlian memaksakan diri untuk datang sehingga akhirnya terpaksa berbuat kriminal untuk mempertahankan hidupnya di Jakarta. Banyak juga para pendatang yang tidak mempunyai tempat tinggal, akhirnya menempati tanah-tanah negara yang tak layak huni sehingga menimbulkan kekumuhan kota. Oleh karena itu, para pendatang yang kurang terdidik itu bukan saja berpotensi untuk bertindak kriminal, tetapi juga berpeluang menjadi perusak lingkungan," ujarnya memberi alasan.

Senada dengan itu, Walikota Jakarta Timur, Andi Mappaganti mengakui bahwa salah satu persoalan berat yang dihadapi Ibukota Jakarta adalah tingkat kepadatan penduduk yang tak sebanding dengan luas wilayah yang tersedia. Ia pun mengakui, tingginya tingkat kepadatan penduduk Ibukota berdampak pada persoalan sosial dan lingkungan hidup. Menurunnya kualitas pelayanan publik seperti buruknya penyediaan transportasi, ketakteraturan sosial seperti penyerobotan tanah negara, munculnya tempat-tempat kumuh, serta berbagai pencemaran lingkungan yang berakibat pada penurunan tingkat kesehatan masyarakat merupakan contoh nyata persoalan kota Jakarta. "Banyak fasilitas umum diserobot masyarakat, terutama pendatang yang tak jelas. Berdirilah bangunan-bangunan tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan juga bermunculan tempat-tempat kumuh yang merusak tatakota," ujar Mappaganti sambil membeberkan beberapa contoh kasus di Jakarta Timur yang dinilainya sebagai tempat dengan jumlah penduduk terbanyak di DKI itu.

Namun demikian, di mata sosiolog UI Prof Dr Sardjono Jatiman, urbanisasi sebagai suatu proses sosial -termasuk di dalamnya urban migration- merupakan hal biasa yang wajar dan alami. "Orang pindah ke Jakarta wajar saja dan tidak salah. Persoalannya Jakarta kini tidak mampu lagi menyediakan lapangan kerja yang cukup. Yang salah adalah kebijakan pemerintah dulu yang sentralistik. Jakarta telanjur dijadikan pusat segala macam pembangunan, maka orang tidak punya pilihan lain selain ke Jakarta," jelasnya.

Oleh karena itu, Sardjono kurang sepakat dengan rencana Sutiyoso untuk membendung pendatang ke Jakarta. "Jakarta memang sudah penat, namun kita tidak bisa membendung orang datang ke Jakarta karena Jakarta ini 'kan milik Indonesia. Tiap orang Indonesia punya hak yang sama untuk tinggal di Jakarta," tukasnya. Hanya saja ia menyarankan agar pemerintah tidak mengulang lagi kebijakan yang salah.  "Sekarang ada otonomi daerah, mudah-mudahan upaya ini dapat menggiring orang untuk kembali ke daerah asalnya masing-masing secara sukarela," ujarnya memberi solusi.

Jurus Sardjono itu diamini Sekretaris Eksekutif Walhi DKI, Ahmad Safrudin, SE. Menurutnya, membendung pendatang tidak bisa sepenuhnya menyelesaikan persoalan jika pemerintah masih tetap menerapkan pola-pola kebijakan lama yang sentralistik. "Bagaimana mungkin bisa memagari Jakarta dari serbuan pendatang, sementara perputaran uang nasional 80 persennya berada di Jakarta. Secara ekonomis ini tentu menjadi daya tarik tersendiri yang sulit dibendung," ujar aktivis lingkungan hidup itu.

Di samping persoalan kebijakan yang sentralistik, Ahmad juga menambahkan bahwa pemerintah DKI harus lebih bertanggung jawab dalam mengatasi urbanisasi dengan dampak sertaannya seperti pencemaran, baik pencemaran udara (polusi) maupun pencemaran di darat dalam bentuk limbah padat dan cair. "Ketika pemerintah daerah menyatakan diri sanggup menjadi pejabat, ia harus siap dengan konsep dan visi pengembangan kota, antara lain bagaimana menangani persoalan limbah dan lingkungan hidup itu," tegasnya.

Beberapa pejabat terkait di lingkungan Pemda DKI seperti Bapedalda, Wagub Bidang Kesra dan Wagub Bidang Pembangunan sulit dikonfirmasi berkaitan dengan persoalan itu. Namun boleh jadi, saratnya beban kota Jakarta kini merupakan akibat kurang terpadunya konsep pengelolaan lingkungan dalam agenda pembangunan secara signifikan. Benarlah apa yang selalu diwanti-wanti mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof Emil Salim bahwa persoalan lingkungan hidup harus senantiasa diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan. Karena dengan upaya ini, berbagai gejolak dari proses urbanisasi yang tak terkendali akan lebih mudah untuk diantisipasi. // sofian asgart

 

Tabel-1

Jumlah Rumah Tangga dan Penduduk

DKI Jakarta Tahun 2000

---------------------------------------------------------------------------

                     Rumah                  Penduduk

Kotamadya  Tangga      ----------------------------     Jumlah

                                     Laki-Laki   Perempuan

---------------------------------------------------------------------------

1.Jakarta Selatan     470.397       904.254       885.859     1.790.113

2.Jakarta Timur       615.123     1.188.212     1.156.382     2.344.596

3.Jakarta Pusat       247.412       447.723       442.199       888.922

4.Jakarta Barat       516.682       962.184       947.653     1.909.837

5.Jakarta Utara       394.731       713.974       720.697     1.434.671

---------------------------------------------------------------------------

DKI Jakarta         2.244.345     4.216.347     4.152.790     8.369.137

---------------------------------------------------------------------------

Sumber: Biro Pusat Statistik

 

Tabel-2

Jumlah Penduduk Tidak Bertempat Tinggal Tetap

DKI Jakarta Tahun 2000

----------------------------------------------------------------------

                                  Penduduk

Kotamadya              ------------------------------        Jumlah

                          Laki-Laki       Perempuan

----------------------------------------------------------------------

1.Jakarta Selatan            487            864               1.351

2.Jakarta Timur            2.623          2.483               5.106

3.Jakarta Pusat            7.207          4.815              12.022

4.Jakarta Barat            1.413            781               2.194

5.Jakarta Utara            6.127          1.564               7.691

----------------------------------------------------------------------

DKI Jakarta               17.857         10.507              28.364

----------------------------------------------------------------------

Sumber: Biro Pusat Statistik

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar