Jumat, 03 April 2009

Politik dan Demokrasi


Satu Dekade Reformasi:

Majukah Demokrasi Kita?

Ada sementara pihak yang mengklaim bahwa demokrasi di Indonesia sudah mengalami kemajuan pesat. Sementara di sisi lain ada pula yang justru skeptis dan menyebut demokrasi di Indonesia telah gagal total. Sejatinya, majukah demokrasi kita?

Survei pertama Demos (2003-2004) mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia menyimpulkan bahwa situasi demokrasi Indonesia mengalami defisit. Kondisi defisit itu antara lain terindikasi dari adanya kesenjangan antara pesatnya perkembangan berbagai kebebasan serta hak-hak sipil politik di satu sisi, dan buruknya kondisi perangkat-perangkat operasional demokrasi di sisi yang lain.

Apakah kondisi demokrasi saat ini sudah mengalami perubahan? Temuan survei Demos yang terakhir (Resurvey, 2007)  secara umum menunjukkan bahwa potret demokrasi Indonesia mengalami sejumlah kemajuan. Informan kami memberikan penilaian bahwa hampir semua perangkat demokrasi mengalami perbaikan, terutama yang berkaitan dengan perangkat operasional pemerintahan. Sementara itu, celah defisit juga tampak menjadi semakin sempit.

Namun begitu, membaiknya sejumlah perangkat demokrasi itu tidak serta-merta mengubah wajah demokrasi Indonesia menjadi baik. Mengapa? Pertama, perbaikan-perbaikan pada berbagai perangkat operasional demokrasi itu berasal dari kondisi yang sangat buruk, sehingga situasinya sekarang masih tetap belum benar-benar baik. Kedua, kesenjangan antara aspek-aspek kebebasan yang membaik dan perangkat-perangkat operasional demokrasi memang menyempit, tetapi fenomena ini tidak serta-merta disebabkan oleh membaiknya perangkat-perangkat operasional demokrasi, melainkan karena hampir semua aspek fundamental justru mengalami stagnasi dan kemerosotan.

Beberapa perangkat operasional demokrasi yang dianggap memburuk oleh informan adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berbicara, kebebasan mendirikan serikat buruh, serta akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media. Tragedi yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mungkin dapat menjadi salah satu contoh nyata betapa kebebasan berkeyakinan sebagai salah satu hak asasi yang dijamin undang-undang diabaikan dan bahkan dinodai secara vulgar. Contoh lain yang relevan untuk disebut adalah ’kekalahan’ Time atas Soeharto yang sekaligus dikabulkannya tuntutan Soeharto agar Time membayar ganti rugi sebesar Rp 1 milyar. Kendati survei ini tidak memperlihatkan kemunduran dalam kebebasan pers, fenomena ini tentu dapat mengancam kebebasan publik untuk mengakses berbagai pandangan yang disajikan media, dan lebih jauh lagi bisa menjadi preseden buruk yang mengancam kebebasan pers.

Kemunduran juga tampak pada instrumen partisipasi warga negara, terutama perangkat operasional mengenai kebebasan mendirikan partai dan ikut serta dalam pemilihan umum di berbagai tingkatan serta pada berbagai aspek penguatan representasi. Selain itu, demokratisasi Indonesia juga masih mengidap masalah-masalah lain, yaitu tidak adanya perbaikan akses dan partisipasi dari semua kelompok sosial –terutama kelompok-kelompok marjinal– terhadap kegiatan publik, buruknya kesetaraan gender, masih buruknya transparansi dan akuntabilitas militer dan polisi terhadap pemerintah terpilih dan terhadap publik, serta masih kuatnya ketergantungan pemerintah kepada intervensi pihak asing.

Kemunduran lainnya yang tampak dari data resurvey adalah masih lemahnya representasi. Meskipun demokrasi telah semakin berfungsi menjadi sistem dan kerangka politik nasional, tetapi representasi masih menjadi masalah paling kronis. Belum ada perbaikan substansial menyangkut tiga dimensi representasi, yakni representasi politik berbasis partai, representasi kepentingan berbasis asosiasi sipil dan gerakan sosial, serta partisipasi langsung. Selama ketiga dimensi representasi itu masih tidak dijadikan agenda utama demokratiasi politik, tampaknya demokrasi Indonesia masih akan tetap dimonopoli oleh kepentingan-kepentingan kelompok elit oligarkis. Gejala ini tercermin dengan jelas dalam sistem kepartaian Indonesia saat ini. Meskipun ada kebebasan untuk membentuk partai, namun partai-partai baru yang muncul tidak cukup mengagregasikan representasi alternantif yang berarti. Tampak bahwa partai-partai baru yang ada cenderung ‘menjual stock lama’ dan hanya memunculkan orang yang ‘itu-itu’ juga. Tak heran jika kebebasan membentuk partai dan keikutsertaan dalam pemilihan umum dinilai sebagian besar informan Demos sebagai perangkat demokrasi yang mengalami kemerosotan paling parah diantara perangkat-perangkat demokrasi lainnya.

Aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob). Perangkat-perangkat yang termasuk dalam hak Ekosob adalah hak memperoleh pendidikan dasar, perlindungan hak anak, dan hak memperoleh pekerjaan dan jaminan sosial, serta good corporate governance. Angka indeks untuk kelompok perangkat hak-hak Ekosob memang memperlihatkan sedikit peningkatan. Kendati begitu, angka indeks komulatif tetap tergolong rendah. Ini menunjukkan bahwa pada dimensi ini pun kondisi demokrasi kita masih pincang. Potret yang tampak di hadapan kita menunjukkan bahwa masih banyak warga yang tak sanggup memenuhi kebutuhan dasar mereka. Angka kemiskinan, pengangguran, dan sejumlah persoalan sosial lainnya juga masih tampak krusial.

Hingga di sini, ada empat kesimpulan sementara yang bisa dikemukakan. Pertama, secara umum kita melihat ada perbaikan pada perangkat-perangkat demokrasi. Kedua, celah defisit pada perangkat-perangkat demokrasi memang kelihatannya makin menyempit. Ketiga, bagaimanapun, penyempitan itu tidak semata-mata menunjukkan adanya perbaikan semua perangkat. Perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan dasar dan partisipasi politik kepartaian yang sebelumnya memiliki angka indeks yang baik kini justru menurun. Perbaikan-perbaikan dalam aspek manajerial pemerintahan sepertinya harus ditebus dengan menurunya berbagai kebebasan. Keempat, seiring dengan mandegnya perkembangan berbagai kebebasan dasar dan hak-hak sipil politik, kemandirian negara juga tak kunjung mengalami perbaikan. Terakhir, kondisi hak-hak Ekosob meskipun tampaknya mengalami perbaikan di sejumlah aspek, tetapi jelas situasinya masih pincang.

Kombinasi dari kesimpulan-kesimpulan itu memperlihatkan gambaran bahwa di tengah perbaikan defisit demokrasi, aspek-aspek fundamental demokrasi lainnya diam-diam masih juga terancam. Harus diakui bahwa kondisi demokrasi dalam sejumlah aspeknya memang mengalami perbaikan. Namun demikian, harus disadari pula bahwa fondasi demokrasi kita masih rapuh. Ibaratnya, perbaikan-perbaikan demokrasi itu masih berlangsung ‘di atas pasir’ sehingga kondisi demokrasi kita masih goyah. Paparan mengenai kemajuan dan kemunduran proses demokratisasi ini tentu bukan dimaksudkan untuk menumbuhkan skeptisme ataupun ekspektasi yang berlebihan. Namun diharapkan dapat memfasilitasi ruang publik bersama untuk mendiskusikannya secara lebih cermat dan realistis seraya terus meningkatkan beragam upaya untuk memaknai demokratisasi secara berkelanjutan. (Sofian M. Asgart)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar