Jumat, 03 April 2009

LSM dan Politik

Geliat CSO Menuju Go Politics

Potret Kecil dari Jawa Barat


  by: Sofian M. Asgart


Iftitah: Terbukanya Pasar Politik

Bergulirnya reformasi telah menciptakan pasar politik baru dengan semakin terbukanya kesempatan menjadi aktor politik dalam berbagai level. Kesempatan politik ini bukan saja dimanfaatkan oleh para politisi kawakan yang berusaha bermetamorfosa dengan “baju baru”-nya, namun juga munculnya fenomena politisi baru, baik melalui partai lama maupun juga dengan mengusung partai baru. Diantara para politisi baru yang mencoba meramaikan pasar politik itu juga tampak para aktivis Civil Society Organisation (CSO).

Masuknya kalangan CSO ke ranah praksis politik memang mengundang sejumlah polemik. Namun secara umum, ada dua pandangan yang secara diametral bersebrangan satu sama lain. Pertama, menganggap masuknya kalangan CSO ke dunia politik praktis sebagai sebuah pengkhianatan sekaligus menegasikan peran dan fungsi CSO sebagai organisasi non-politik yang berorientasi kerakyatan. Kedua, menganggap masuknya kalangan CSO ke ranah politik sebagai upaya untuk “mewarnai” sekaligus merubah sistem dari luar.

Kini wacana menuju politik praktis (go politics) di kalangan CSO semakin massif. Dengan bergulirnya Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) –yang begitu merangsang proses-proses politik dan demokratisasi di tingkat lokal— bahkan, polemik mengenai perlu-tidaknya CSO berpolitik tampaknya hampir berakhir. Dalam artian, hampir semua kalangan CSO kini sepakat untuk go politics. Persoalannya kemudian adalah bagaimana cara efektif menempuh jalur go politics itu? Memanfaatkan partai yang ada atau membuat partai baru? Strategi apa saja yang akan digunakan untuk meraih dukungan massa? Dan sejumlah pertanyaan lain yang sudah lebih progressif ketimbang mewacanakan perlu-tidaknya CSO berpolitik.

Sebagai wilayah dengan “suhu politik” cukup tinggi –dengan geopolitik yang berhimpitan dengan pusat kekuasaan— Jawa Barat (Jabar) merupakan daerah yang cepat terkena imbas suhu politik nasional. Apa yang terjadi di Jakarta dengan segera juga akan menjalar ke Jabar. Demikian halnya wacana go politics yang kini kian massif dikumandangkan kalangan CSO. Pada Juli 2005, bahkan, di Bandung telah digelar pertemuan CSO tingkat nasional yang secara khusus membicarakan strategi kalangan CSO memanfaatkan dan memenangkan Pilkada. Pertemuan yang difasilitasi PERGERAKAN dan TIFA ini membuahkan beberapa kesepakatan, antara lain perlunya penggalangan kekuatan di kalangan CSO untuk membangun partai alternatif –baik partai lokal maupun partai nasional— terutama dalam rangka menyongsong Pemilu 2009.

Dalam hubungannya dengan upaya go politics, CSO di Jabar tergolong cukup progressif. Terdapat sejumlah Organisasi Rakyat (OR) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jabar yang memiliki agenda go politics. Beberapa diantaranya yang paling menonjol adalah Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), PERGERAKAN, dan Serikat Petani Pasundan (SPP). Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi kiprah ketiga lembaga ini dalam upayanya mengusung go politics sebagai salah satu angenda yang mereka perjuangkan.

 

Karakteristik Umum

Diantara ketiga organisasi tersebut, KPA merupakan lembaga paling berpengalaman. Bukan saja di Jawa Barat, di tingkat nasional pun KPA sering menjadi rujukan, terutama dalam kaitannya dengan persoalan konflik pertanahan. Ini karena sejatinya KPA merupakan konsorsium yang bersifat nasional dimana PERGERAKAN dan SPP pun menjadi salah satu anggota konsorsium KPA. Karena itu, kekuatan jaringan yang sudah menasional itu merupakan salah satu keunggulan tersendiri yang dimiliki KPA. 

Sebagai organisasi yang memiliki graffiti dalam kegiatan advokasi, PERGERAKAN seringkali menjadi simpul bersama sekaligus memfasilitasi beragam aktivitas advokasi, termasuk di dalamnya mengadvokasi persoalan pertanahan yang merupakan “PR” KPA dan SPP. Meskipun tergolong lembaga baru, PERGERAKAN –yang mulai berkiprah sejak 2002— merupakan organisasi yang progressif. Ini antara lain dapat dilihat dari keberhasilannya menginisiasi pertemuan-pertemuan nasional kalangan CSO yang antara lain menelorkan Front Persiapan Pembentukan Partai Politik Alternatif yang kemudian menjadi cikal-bakal Partai Persyarikatan Rakyat (PPR) yang kini dikomandani Syaiful Bahari.

 

Sementara itu, SPP sebagai organisasi tani lokal, gerakannya terbatas di wilayah Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Namun keterbatasannya ini sekaligus merupakan kekuatannya. Dengan basis massa riil di tiga kota itu, SPP justru seringkali menjadi “tulang punggung” bagi KPA dan PERGERAKAN dan bahkan bagi banyak organisasi lainnya yang berkepentingan melakukan pengerahan massa secara massif. Dalam hal mobilisasi massa inilah SPP memiliki keunggulan tersendiri karena basis konstituennya sangat jelas dan nyata.

Ketiga organisasi tersebut sepertinya memiliki arena bermain (locus) yang berbeda, namun sejatinya saling melengkapi satu sama lain. KPA lebih banyak bermain di tingkat nasional dengan isu tunggal masalah pertanahan. PERGERAKAN merupakan organisasi semi-nasional (regional) lintas isu. Sementara SPP merupakan organisasi lokal dengan fokus isu tanah/petani. Meskipun berbeda locus, ketiganya memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertama, sama-sama memiliki visi kerakyatan. Hal ini bisa dilihat dalam dokumen kelembagaanya yang ketiga-tiganya secara formal mencantumkan asas kerakyatan dalam visi organisasinya. Kedua, baik KPA, PERGERAKAN maupun SPP ketiga-tiganya memiliki misi yang sama dalam hal agrarian reform. Ketiga, mereka juga memiliki perspektif yang sama mengenai agenda go politics meskipun diantara ketiga lembaga tersebut juga memiliki pilihan-pilihan strategi yang berlainan dalam pengimplementasiannya.

 

Variasi Gerakan

Dalam Anggaran Dasar KPA disebutkan bahwa tujuan utama pembentukan KPA adalah untuk memperjuangkan terciptanya sistem agraria yang adil  dan menjamin pemerataan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi seluruh  rakyat Indonesia; jaminan kepemilikan, penguasaan dan pemakaian  sumber-sumber agraria bagi petani, nelayan, dan masyarakat adat; jaminan  kebebasan berserikat serta jaminan kesejahteraan bagi rakyat kecil. 

Karena orientasi perjuangan KPA untuk memperjuangkan rakyat kecil, maka ideologi politik yang diusung pun lebih merupakan ideologi kerakyatan. Artinya, KPA menempatkan rakyat pada posisi sangat sentral. Ini juga sesuai dengan asas yang dipegang KPA dimana kedaulatan rakyat adalah segalanya dan merupakan tujuan tertinggi yang harus diperjuangkan untuk mencapainya. Karena basis utama KPA adalah para petani penggarap yang miskin, maka persoalan utama yang penting diperjuangkan adalah keadilan atas hak pemilikan dan akses terhadap sumber daya, terutama tanah sebagai sumber produksi petani. Cita-cita luhur terciptanya kebijakan agraria yang berkeadilan dengan begitu menjadi salah satu agenda politik KPA yang urgen. Karena itu pula slogan KPA “Tidak ada demokrasi tanpa land reform !”.

Pada sisi itu, sebetulnya agak sulit mencari perbedaan antara “ideologi politik” KPA dengan SPP. Karena, baik orientasi kerakyatan maupun land reform, keduanya juga merupakan tujuan politik SPP. Namun begitu bukan berarti tidak ada perbedaan diantara keduanya. Setidaknya, ada tiga perbedaan menonjol antara KPA dengan SPP, yaitu pola kepemimpinan, mobilisasi massa, dan strategi gerakan. Sebagai organisasi modern yang sudah menasional KPA menerapkan pola kepeimpinan yang bersifat federatif, sementara SPP lebih terfokus ke personal leadership yang bersifat kharismatik. Dalam hal mobilisasi, KPA lebih banyak memanfaatkan jaringan organisasi yang tersebar, sementara SPP lebih banyak mengandalkan pengerahan massa. Dalam hal strategi, KPA lebih banyak menempuh jalur-jalur “resmi” secara variatif yang disepakati anggota konsorsium, semetara KPA agak tergantung pada figur pemimpin yang kadang menempuh strategi yang zig-zag.

Diantara kedua kutub itu, PERGERAKAN sepertinya berada diantara persilangan keduanya. Selain itu, dalam hal isu gerakan dan konstituen, PERGERAKAN sudah lebih maju daripada KPA dan SPP. KPA dan SPP cenderung terfokus ke isu tanah dan petani. Demikian pula dalam hal konstituen, kedua organisasi itu memperoleh dukungan secara terbatas dari petani dan pihak-pihak yang memiliki persoalan pertanahan. Sementara PERGERAKAN telah melakukan broadening mass movement dengan memasukkan isu-isu lain –seperti nelayan, buruh, miskin kota, politisi prodem, dan lain-lain— dalam garapan advokasinya. Namun demikian, di atas perbedaan dan variasi-variasi strategis itu, ketiganya memiliki hasrat yang sama untuk melakukan agenda go politics. Ini antara lain dapat disimak dari berbagai eksperimentasi yang mereka lakukan, terutama dalam menyambut Pilkada, dimana mereka terlibat dalam proyek “uji-coba”repolitisasi rakyat di banyak tempat.

 

 

Merajut Hambatan, Merebut Harapan

Agenda go politics kini telah menjadi mainstream di kalangan CSO. Fenomena ini setidaknya dapat disimak dari geliat berbagai kalangan CSO yang mengedepankan beragam upaya, seperti  blok-politik yang digagas WALHI, front politik CSO yang diprakarsai jaringan persyarikatan rakyat, pertemuan masyarakat sipil yang diselenggarakan Sekar, dan upaya-upaya lainnya.

Selain memunculkan optimisme, dalam forum-forum politik itu juga menyemburat sejumlah kendala yang secara kasat mata dirasakan bersama. Setidaknya, ada tiga hambatan utama yang dihinggapi kalangan CSO dalam menuju agenda go politics yang mereka canangkan. Pertama, terbatasnya basis konstituen yang menjadi sumber-massa pendukung. Fenomena yang umum ditemukan adalah saling mengklaim massa diantara kalangan CSO, sementara yang diklaim ternyata adalah massa yang sama. Ini menunjukkan bahwa konstituen sesungguhnya dari kalangan CSO masih sangat terbatas. Kedua, terfragmentasinya wilayah isu dan gerakan CSO dari isu dan wilayah yang terpisah-pisah. Bahkan, dalam banyak hal, para aktivis CSO terpecah belah dengan sejumlah aktivitasnya. Ketiga, para aktivis CSO juga masih terkesan elitis. Aktivisme mereka memiliki jarak yang cukup lebar dengan publik sehingga mereka tampak seperti kaum demokrat yang mengambang (floating democrat). 

Namun begitu, berbagai kendala tersebut tidak seharusnya menyurutkan mereka dari hasrat dan niat suci untuk melakukan go politics. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mereka mampu menafsirkan hambatan menjadi harapan, merubah kendala menjadi peluang.  Langkah berikutnya tentu saja membangun kesadaran bersama bahwa sejatinya kalangan CSO memiliki kendala yang sama, namun juga mereka memiliki harapan dan peluang yang sama. Kesadaran ini pada gilirannya akan mengantarkan mereka pada “keharusan” untuk melakukan sinergi, aliansi, dan sindikasi untuk menciptakan pilihan-pilihan politik kolektif secara objektif dan komprehensif. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar