Minggu, 14 Juni 2009

Aceh


Berhentilah Menipu Aceh !

 

Perjalanan sejarah Serambi Mekah diliputi sejumlah kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan. Mampukah musibah tsunami dijadikan momentum untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan secara signifikan?

 

Sejarah kekerasan di Aceh telah dimulai sejak masa kolonial. Juanda, aktivis People Crisis Center (PCC) yang juga Key Informan Aceh untuk Riset Demos, melukiskan bahwa upaya kolonialisasi yang dilakukan Portugis dan Belanda telah memaksa rakyat Aceh mengacungkan senjata. Puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun Belanda dengan gigih melakukan berbagai upaya untuk menaklukkan Aceh secara intensif dan ofensif. Namun selama itu pula serdadu Belanda frustasi menyaksikan kobaran api jihad rakyat Aceh yang terus bergelora. Nama-nama besar yang tertoreh dalam sejarah seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, dan pahlawan nasional dari Aceh lainnya telah menunjukkan pada dunia bahwa Aceh merupakan “bumi patriot” yang tak bisa dipaksa dan diperkosa dengan kekuatan senjata.

Sayangnya, catatan sejarah tersebut tidak dijadikan pelajaran berharga oleh para penghulu negeri ini untuk memahami Aceh secara bijaksana. Pasca kemerdekaan Indonesia, Aceh justru tenggelam dalam tipuan berkepanjangan.

            Pada tanggal 17 Juni 1945, Bung Karno pernah berpidato di lapangan Blang Padang, Kutaraja (Banda Aceh). Ketika itu, Soekarno mengakui Aceh sebagai modal utama bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejarah pun mencatat Aceh berperan dalam kepemilikan pesawat terbang pertama Indonesia, Dakota. Karena itu, Soekarno menjanjikan status “daerah istimewa” jika kelak Indonesia merdeka. Namun semenjak kemerdekaan Indonesia dideklarasikan 17 Agustus 1945 hingga rezim Soekarno berakhir,  “keistimewaan” Aceh tak pernah secara serius diberikan. Paling tidak, diundangkan seperti Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Inilah tipuan pertama yang dilakukan Orde Lama yang sekaligus menjadi inspirasi awal  lahirnya Gerakan Aceh Merdeka  (GAM) sebagai wujud ketidakpuasan rakyat Aceh.

            Rezim Orde Baru kemudian menyempurnakan tipuan itu dengan cara yang lebih memuakkan. Dengan berbagai kebijakannya yang sentralistik, Aceh tak ubahnya sebagai sapi perahan. Bagaimana mungkin, LNG Arun sebagai sumber gas alam terbesar kedua dunia setelah Qatar tak mampu memberi kesejahteraan bagi penduduk sekitar. Sebagai daerah penyumbang ekspor terbesar setelah Riau dan Kaltim, Aceh  hanya mendapatkan tetesan subsidi pembangunan alakadarnya. Ketidakpuasan ini yang kemudian menyuburkan semangat perlawanan bak jamur di musim hujan. GAM pun menjelma menjadi kekuatan yang kian militan. Sementara rakyat kebanyakan berada di simpang jalan kebimbangan yang akhirnya justru menjadi korban.

            Semenjak dilakukan Operasi Jaring Merah, PRRM, dan terutama pasca dilembagakannya Daerah Operasi Militer (DOM) selama sembilan tahun (1989-1998), ratusan ribu warga Aceh telah terbunuh. Akibatnya, bumi Serambi Mekah bersimbah darah, tenggelam dalam nestapa berkepanjangan. Dalam situasi kelam seperti itu, Aceh hampir tak menyisakan sedikit pun “lahan perdamaian” yang aman. Sementara kecurigaan dan rasa permusuhan seakan tak pernah musnah akibat intrik-intrik dan liciknya mesin politik yang sentralistik. Tepatlah ungkapan budayawan Taufik Ismail: “Di negeri ini telah terjadi kekejaman tidak masuk akal, dalam sandiwara politik yang luar biasa keji.” Aceh adalah tragedi !

            Perubahan politik setelah tumbangnya rezim Soeharto membersitkan harapan baru bagi masyarakat Aceh. B.J Habibie tidak saja mencabut status DOM, namun secara eksplisit menyatakan permohonan maaf pemerintah kepada masyarakat Aceh atas akibat-akibat yang ditimbulkan DOM. Dalam lawatannya ke Aceh 7 Agustus 1998, B.J Habibie juga berjanji untuk menarik pasukan seraya menggelar pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Namun demikian, berbagai upaya yang dilakukan B.J Habibie menunjukkan bahwa pengadilan itu pada dasarnya hanya menyentuh para pelaku di lapangan. Sementara para pejabat yang membuat keputusan seakan tak tersentuh. Kondisi ini yang menyebabkan kekerasan di Aceh terus berualang. Di sisi lain, kalangan masyarakat sipil yang menuntut keadilan justru dikriminalisasi sebagai perpanjangan tangan GAM.

B.J Habibie juga membuat keadaan semakin parah dengan menggelar serangkaian “operasi terbatas” di pemukiman yang dianggap sebagai basis kekuatan GAM.  Namun demikian, rangkaian operasi itu bukan saja tidak berhasil menghancurkan GAM tapi justru sebaliknya membuat kelompok-kelompok bersenjata semakin militan. Bahkan, rangkaian operasi itu telah menghasilkan berbagai efek teror yang melahirkan korban jauh lebih banyak di kalangan masyarakat sipil. PCC menyebutkan bahwa pada masa B.J Habibie tercatat  gelombang pengungsian yang paling besar (lihat tabel) sebagai efek teror yang dilakukan militer pasca DOM.

 

Gelombang Pengungsian di Aceh, Januari 1999 – April 2002

Asal Daerah

1999

2000

2001

2002

KK

Jiwa

KK

Jiwa

KK

Jiwa

KK

Jiwa

Aceh Timur

5.571

22.284

9.340

37.360

2.414

9.655

961

3.843

Aceh Utara

16.450

65.799

8.124

32.496

1.207

4.843

104

416

Aceh Jeumpa

11.663

46.653

73

291

142

570

--

--

Pidie

42.197

168.789

5.019

20.075

338

1.354

62

250

Aceh Selatan

94

376

6.309

25.235

--

--

--

--

Aceh Barat

2.757

11.026

1.025

4.900

1.047

4.188

560

2.242

Aceh Tengah

--

--

1.012

4.321

860

5.980

130

520

Aceh Besar

1.200

4.800

3.548

14.194

242

988

--

--

Perbatasan Sumut-Aceh

3.750

15.000

--

--

--

--

--

--

Jumlah

83.682

334.727

34.450

138.872

6.250

27.578

3.147

15.321

Sumber: PCC (People Crisis Center), Banda Aceh dalam AE.Priyono, Demos (2003)

 

                Masa pemerintahan Gus Dur mungkin sedikit agak menghibur karena tingkat kekerasan yang terjadi di Aceh menurun. Gus Dur memang lebih mengutamakan dialog untuk penyelesaian Aceh dengan melibatkan Henri Dunant Center (HDC). Salah satu langkahnya adalah dicapainya kesepakatan Jeda Kemanusiaan (humanitarian pause) sejak 2 Juni 2000. Sekalipun relatif efektif mengurangi tindak kekerasan, Jeda Kemanusian belum berhasil menyentuh masalah pokok yang menjadi tuntutan korban pelanggaran HAM dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan di Aceh. Selain itu, rasa ketidakadilan masyarakat tetap mencuat karena Gus Dur terkesan mengabaikan aspek kesejahteraan. Pada masa Gus Dur, praktek korupsi mulai merambah ke daerah mewarnai pelaksanaan otonomi daerah. Ironisnya, Gus Dur sendiri terjerat kasus hibah Sultan Bolkiah. Rakyat Aceh pun merasa ditipu lagi!

            Menjelang masa pemerintahannya, Megawati pernah sesumbar “Kalau Cut Nyak memimpin negeri ini, tidak akan saya biarkan setetes darah pun menetes di Aceh”. Sebagaimana BJ.Babibie, Megawati pun menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada masyarakat Aceh. Dalam pidato emosional di depan masjid besar Banda Aceh, Megawati mengatakan, pemerintah-pemerintah terdahulu memiliki kekurangan dan telah melakukan berbagai kesalahan. Ia minta maaf secara pribadi dan atas nama pemerintah Indonesia, dan menyerukan agar rakyat Aceh memberikan waktu kepada pemerintahannya untuk menyelesaikan persoalan Aceh.

Lantas, apa yang dilakukan Megawati? Darurat Sipil dan Darurat Militer! Berbekal Keputusan Presiden (Kepres) No.28 tahun 2003, Megawati mengintruksikan Aceh kembali sebagai daerah operasi militer. Koordinator KontraS yang juga salah seorang informan Riset Demos, Usman Hamid, menilai kebijakan yang ditempuh Megawati saat itu sebagai cerminan dari lemahnya pemerintahan sipil yang tidak punya strategi untuk menyelesaikan masalah Aceh dan tidak mampu mencari alternatif lain selain membiarkan kekerasan. “Pemerintah tidak cukup bijak untuk menyadari bahwa upaya merebut simpati rakyat Aceh tidak dapat dicapai melalui jalan kekerasan,” ujarnya.    

Usman juga menambahkan bahwa pemerintah sipil tidak mampu melakukan kontrol atas militer yang lebih powership di Aceh. Bahkan, tampak adanya kesan bahwa pemerintah sipil membiarkan dirinya dikendalikan kepentingan militer. Senada dengan ini, laporan International Crisis Center (ICG) menyebutkan ada petunjuk bahwa TNI, terutama angkatan darat, mengambil manfaat dari konflik berkepanjangan di Aceh sekalipun bukan merupakan hasil kebijakan eksplisit. Pertempuran yang berkepanjangan di Aceh memberi peluang kepada TNI untuk memerankan diri sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu mencegah disintegrasi Indonesia, dan oleh karenanya pengaruh politiknya dapat dipertahankan.

Naiknya SBY ke tampuk kekuasaan disambut dengan sejumput harapan. Namun, belum lagi SBY mengeluarkan “jurus” untuk menangani Aceh, musibah tsunami datang menerjang. Rausan ribu jiwa yang menjadi korban seakan melengkapi tragedi kemanusiaan dan menambah luka lama yang kian menganga. Namun di mata Akhiruddin Mahjuddin, tragedi tsunami selain musibah juga telah memunculkan solidaritas lintas batas, baik lintas agama, suku, bahkan lintas negara. Karena itu, ia berharap SBY dapat menjadikannya sebagai strating point untuk menuju Aceh yang lebih baik. Selain itu, ia juga berharap bahwa dana yang datang begitu melimpah harus benar-benar mendatangkan manfaat bagi rakyat, dikelola secara transparan, akuntabel, bebas dari korupsi, sehingga memunculkan harapan dan kepercayaan publik Aceh. “Kalau terjadi sebaliknya, maka pupuslah sudah kepercayaan rakyat Aceh ... untuk selamanya,” ujar Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh ini.

Harapan yang sama juga dikemukakan aktivis PCC, Asyraf Fuady. Menurutnya, tragedi tsunami 24 Desember 2004 merupakan momentum strategis untuk menumbuhkan trust building sekaligus untuk memberikan rasa keadilan yang kini masih merupakan barang mahal bagi rakyat Aceh. Asyraf menilai, kebijakan SBY mencabut status darurat sipil di tengah prahara musibah tsunami merupakan keputusan yang melegakan. Namun demikian, ia menilai belum ada perubahan signifikan pasca normalisasi Aceh ditetapkan SBY. Pasalnya, militer belum benar-benar ditarik dari Aceh dan bahkan masih tampak dominan. PCC sebagai organisasi kemanusiaan pun masih diliputi ketidaknyamanan dalam hal keamanan. “Semua lembaga masih merasa trauma dan tertekan, termasuk PCC yang bergerak dalam soal kemanusiaan,” ujarnya.

Berbagai langkah SBY kini mulai diuji. Selain menetapkan normalisasi Aceh dengan mencabut darurat sipil, SBY juga telah membentuk  Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR). Tugas ini tentu tak semudah membalik telapak tangan. Karena itu, sudah semestinya segenap komponen bangsa turut mendukung sekaligus mengawasi agar program recoveri Aceh ini berhasil, tidak saja merekonstruksi kerusakan fisik yang porak-poranda akibat tsunami, namun juga mampu memulihkan harapan dan dignitas yang terampas serta menyembuhkan jiwa rakyat Aceh yang sekian lama telah tersiksa. Recoveri Aceh merupakan pertaruhan besar bangsa ini, apakah rakyat Aceh akan tetap memiliki harapan dan masa depan atau mereka tetap merasa tertipu untuk ke sekian kalinya!

Sofian M Asgart 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar