Buku, Jendela Dunia
Reading enables to sharp intersection between reader’s world life and text world so reader’s action of existential takes place that it makes particular meaning for the text. Reader is a creator of meaning. Text becomes everlasting presence. Its presence could overcome time confinement. Accordingly, in book exist live and the life itself. So it is proper to declare that a book is a window of world because through book we are able to peep, to imagine, as well as
to penetrate the boundary of soul
Harus diakui bahwa seluruh kebudayaan modern, pada dasarnya terbentuk, terbangun, dan terkembangkan di atas kegiatan keilmuan, yakni aktivitas tulis-menulis dan budaya baca. Perjalanan sejarah menunjukkan --juga dengan tulisan-- bahwa bangsa-bangsa yang maju peradabannya adalah bangsa yang sangat kuat tradisi tulis-bacanya. Sebut saja beberapa contoh, misalnya Assyria, Babylonia, Mesir, Persia, Arab, Yunani, Romawi, India Kuno, Cina Kuno, semua adalah bangsa-bangsa yang maju dan berpengaruh sangat besar pada zamannya. Mereka adalah bangsa yang memiliki tradisi tulis-baca serta tingkat apresiasi yang tinggi terhadap dunia keilmuan sehingga mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan peradaban manusia.
Pada perkembangan mutakhir, kedigdayaan Amerika, kemajuan Eropa serta bangkitnya "Raja Asia" Jepang, juga tak terlepas dari semangat keilmuan di mana buku dan budaya baca menjadi sokogurunya.
Atas dasar itu, tak heran jika Jepang pada tahun 1960-an mengambil inisiatif untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa asing lebih dari 21.000 judul setiap tahunnya. Langkah berani yang ditempuh Jepang ini menurut penjelasan Michio Nagai (1993), karena disadari bahwa menerjemahkan karya-karya asing, terutama buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterbitkan Barat akan mempercepat Jepang dalam melakukan transformasi keilmuan yang sangat dibutuhkan dalam kompetensi dan kompetisi global.
Hal itu terbukti, dalam waktu kurang dari 25 tahun Jepang berhasil menguasai iptek sekaligus menjadi market leader yang menguasai lini perekonomian dunia secara menakjubkan. Itu tentu hanya salah satu contoh betapa pentingnya buku sebagai sumber keilmuan sekaligus juga sebagai instrumen kehidupan yang urgensinya sangat signifikan dalam wacana modernitas sekarang ini.
Era informasi kini ditandai dengan kompetisi global untuk menguasai sebanyak mungkin informasi. Dalam konteks inilah, budaya gemar membaca memegang peran utama. Keakraban dengan buku sebagai sumber dan media informasi tentu saja bukan trend dan kelatahan belaka. Hal ini juga perlu menjadi komitmen pemerintah sebagai penyelenggara negara yang mempunyai misi untuk mencerdaskan bangsa. Karena itu, gemar membaca seharusnya menjadi "ruh" dari upaya pembangunan pendidikan nasional. Political will pemerintah semacam ini tentu akan sangat membantu mengupayakan terbangunnya reading habit di tengah kehidupan masyarakat.
Strategi pembangunan pendidikan itu dinilai penting, terutama untuk menghindari kecenderungan dunia pendidikan selama ini yang tampak sebagai usaha formal yang sekadar membangun masyarakat bersekolah. Padahal tantangan kemajuan di masa depan justru harus dijawab dengan mengembangkan bangsa ini sebagai masyarakat belajar (learning society), sekaligus sebagai masyarakat membaca (reading society) yang apresiatif terhadap buku sebagai sumber ilmu.
Beberapa Kendala
Meski diakui bahwa buku merupakan sesuatu yang teramat penting, namun apresiasi masyarakat kita terhadap buku belum cukup menggembirakan. Menurut Ketua Ikapi, Arselan Harahap (1988) paling tidak ada lima masalah yang menyebabkan masyarakat kita jauh dari buku, yaitu harga buku yang mahal, mutu buku yang relatif rendah, peredaran buku yang tidak merata, adanya dampak dari krisis ekonomi serta rendahnya minat baca masyarakat.
Deretan persoalan tersebut bahkan masih bisa diperpanjang lagi dengan masalah kepedulian pemerintah yang dirasa masih rendah. Sementara institusi-institusi lain yang terkait belum memfungsikan diri secara optimal dalam menggalakkan minat baca dan mendekatkan buku kepada masyarakat.
Tengoklah kesaksian para peneliti seperti Eduard JJ M Kimman, pengarang buku Indonesian Publishing (1981) dan Stanley A Barnet et al., dalam laporan Development Book Activities and Needs in Indonesia (1967). Secara ironis mereka sampai pada suatu kesimpulan bahwa data yang tepat tentang industri buku di Indonesia tidak tersedia. Sementara Zubaidah Isa, yang membuat tesis doktoral Printing and Publishing in Indonesia 1607-1979 di Indiana University juga memberikan kesimpulan yang hampir sama. Bahwa sejak merdeka, Indonesia tidak mempunyai kontrol bibliografis yang memadai. Selama ini tidak dibuat secara kontinyu catatan yang sistematis dan akurat tentang penerbitan buku di Indonesia. Adapun daftar buku yang kini diterbitkan oleh Ikapi setiap tahun, terutama lebih sebagai media promosi bagi terbitan penerbit Indonesia daripada catatan sistematis tentang data bibliografis terbitan buku di Indonesia.
Sementara itu, perpustakaan pemerintah dari pusat hingga daerah yang diharapkan berfungsi sebagai basis penyedia buku secara murah bagi masyarakat, tampak cenderung lips service. Keberadaannya lebih sekadar formalitas untuk menunjukkan bahwa pemerintah punya perhatian dalam mengupayakan keperluan buku dan minat baca masyarakat. Sementara berbagai prosedur pelayanan dan sistem pengadaan bukunya masih jauh dari kerangka ideal yang diharapkan.
Redefinisi
Di tengah berbagai persoalan tersebut, tanpa terasa waktu terus berpacu. Pesat-semburatnya arus informasi kian tak tertahankan. Dunia saiber terus memuntahkan situs-situs baru dengan ragam informasi yang mencengangkan. Sementara itu kita masih bergelayut dengan persoalan-persoalan yang tak kunjung usai: pajak buku, harga kertas, rendahnya minat baca, dan persoalan pelik lainnya. Mampukah buku kita tertahankan jatidirinya sebagai ‘jendela dunia’ di tengah hingar-bingarnya cyberspace dan cybermedia?
Agaknya, kita harus mulai melakukan redefinisi, menafsir ulang pemaknaan "buku" dalam hidup dan kehidupan kita. Bahwa buku tak harus identik dengan kertas. Melalui CD-ROM yang lebih sederhana, lebih ekonomis, dan lebih ramah lingkungan kita pun dapat menyaksikan ‘jendela dunia’ yang sama. Demikian pula internet yang menawarkan halaman luas tak berbatas. Seperti halnya buku, ia adalah jendela dunia yang termodifikasi lewat teknologi informasi.
Sebagai contoh, tengoklah situs Project Gutternberg di (http://www. guttenberg.org). Di sini ribuan buku dapat diakses secara gratis melalui browser internet. Masih banyak situs lainnya yang menawarkan hal yang sama. Fenomena ini tentu harus menggugah kesadaran kita --terutama pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam dunia perbukuan-- akan pentingnya membuat terobosan yang sinergis dan kontekstual sesuai tantangan zamannya.
Perlu disadari, abad cybermedia kini ibarat pisau bermata dua. Ia dapat saja menjadi sumber bencana bagi dunia perbukuan, tapi lebih mungkin membawa hikmah yang tak ternilai. Ia datang membawa ancaman, tapi sekaligus memberi peluang. Persoalannya kemudian berpulang pada kemampuan, kearifan, kesiapan, dan kesediaan kita dalam memaknai berbagai perubahan selama ini. Bagaimana kita mampu mengubah sejumlah kendala menjadi peluang, mendefinisikan ancaman sebagai hikmah yang terpendam.
Kini, sudah saatnya kita turut merebut peluang dari kemudahan teknologi informasi itu. Berbagai terobosan dapat diupayakan untuk memperkuat basis perbukuan nasional saat ini. Pembuatan buku digital, konversi naskah dari buku-buku manual ke versi elektrik serta pembuatan digital net-library merupakan contoh agenda yang dapat dipersiapkan.
Dengan berbagai terobosan strategis seperti itu, buku --apa pun bentuknya, manual atau digital-- akan tetap merupakan sumber informasi yang utama. Ia ibarat jendela dunia, tempat mengintip hidup dan kehidupan manusia. Lewat buku kita dapat menyibak masa silam sekaligus menyusuri cakrawala masa depan yang penuh dengan hamparan kemungkinan.
Menteng, Medio Juli 2000
· Juara Harapan Lomba Penulisan Artikel Tentang Buku IKAPI, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar