Minggu, 14 Juni 2009

ketahanan pangan


Ketahanan Pangan, Quo Vadis ?[1]

 

Oleh: Sofian Munawar Asgart 

 

I. Iftitah

Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia setelah udara dan air.  Oleh karena itu, persoalan  ketahanan pangan merupakan sesuatu yang fundamental. Konsideran Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Karena itu, ketersediaan pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup merupakan prasarat utama yang harus dipenuhi sehingga dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraannya.[3]

Dalam tataran yang lebih implementatif, UU No.7/1996 Tentang Pangan tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan yang relevan. Hingga kini tidak kurang dari sepuluh produk hukum yang berhubungan dengan persoalan pangan. Beberapa kebijakan itu, antara lain dapat disimak dalam tabel berikut.

 

No

Peraturan

Substansi

1

Kepres No.41 Tahun 2001

Dewan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan

2

Kepres No.132 Tahun 2001

Dewan Ketahanan Pangan

3

Inpres No.9 Tahun 2001

Kebijakan Perberasan Nasional

4

Kep.Menteri Pertanian N0.01/kpts/OT.210/2001

Organisasi dan Tatakerja Departemen Pertanian

5

Inpres No.9 Tahun 2002

Kebijakan Perberasan

6

PP No.68 Tahun 2002

Ketahanan Pangan

7

Keputusan Bersama Kabimas Ketahanan Pangan Deptan dengan Bulog No.04/SKB/BBKP/2002

Tentang Harga Pembelian Gabah

8

Keputusan Menteri Pertanian No.108/Kpts/OT.210/2/2002

Dewan Ketahanan Pangan

9

PP No.7 Tahun 2003

Pendirian Perum Bulog

10

Keputusan Menteri Pertanian No.05/Kpts/KP.150/1/2003

Pembentukan Kelompok Kerja Sistem Informasi Ketahanan Pangan (SIKAP)

11

Inpres No.9 Tahun 2004

Tentang Perberasan

12

Inpres No.2 Tahun 2005

Kebijakan Perberasan

 

Diolah dari berbagai sumber

 

Namun demikian, sejumput aturan tersebut tidak serta-merta menjadi perangkat yang solutif bagi persoalan pangan di negeri ini. Mencuatnya kasus busung lapar dan kerawanan pangan akhir-akhir ini, misalnya, mengindikasikan bahwa persoalan ketahanan pangan masih merupakan masalah urgen yang perlu diantisipasi secara serius. Lantas, apa sesungguhnya persoalan mendasar ketahanan pangan itu? Solusi apa saja yang dapat dilakukan untuk menjawab persoalan ini? Melalui tulisan ini, penulis tidak berpretensi untuk menjawab segenap persoalan itu secara simultan, namun risalah kecil ini tetap diharapkan dapat memberikan masukan yang signifikan bagi upaya penguatan ketahanan pangan.

 

II. Beberapa Persoalan Ketahanan Pangan

Peraturan Pemerintah No.68/2002 menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu.[4] Tak berlebihan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai persoalan ketahanan pangan sebagai sesuatu yang sensitif sehingga perlu penanganan secara sungguh-sungguh. "Kita jangan lengah dan lalai menangani masalah ketahanan pangan yang sangat sensitif ini. Jika kita gagal dalam menangani ketahanan pangan dengan sempurna, implikasinya dapat mengancam seluruh aspek kehidupan termasuk stabilitas ekonomi dan politik," ujar SBY pada acara  pemberian Penghargaan Ketahanan Pangan Nasional Tahun 2004 di Istana Negara Jakarta, 9 Desember 2004.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan yang tinggi, Indonesia memiliki tantangan yang cukup pelik dalam menghadapi persoalan ketahanan pangan. Menurut Husodo dan Muchtadi (2004) penduduk Indonesia yang berjumlah 212 juta membutuhkan beras untuk keperluan industri dan rumah tangga lebih 30 juta ton per tahun. Kebutuhan beras tersebut akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk. Jika rata-rata pertumbuhan penduduk 1,8% per tahun, maka jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 diperkirakan 238,4 juta dan tahun 2015 menjadi 253,6 juta. Dengan melihat kondisi potensi produksi padi nasional, diperkirakan tahun 2015 persediaan beras akan mengalami defisit sebesar 5,64 juta ton.[5]

Problematik dan kompleksitas persoalan ketahanan pangan dapat dirunut mulai dari masalah ketersediaan pangan, distribusi pangan, pengembangan konsumsi pangan, hingga aspek-aspek yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pemantapan ketahanan pangan. Daftar persoalan ini, bahkan, dapat diperpanjang lagi dengan sejumlah kasus aktual yang kini banyak mengemuka. Namun demikian, secara umum ada tiga persoalan mendasar yang akan dideskripsikan di sini, yaitu: aspek kelembagaan, aspek teknis, dan aspek sumber daya manusia.

 

2.1. Aspek Kelembagaan

Tengoklah situs Dewan Ketahanan Pangan (http://www.deptan.go.id/HomePage BBKP/Dewan KP/), tentu kita akan menemukan sesuatu yang “menakjubkan”.  Betapa tidak, tampilan homepage-nya tampak semarak dengan rubrikasi yang sangat relevan dengan persoalan ketahanan pangan. Sebut saja, misalnya, Pemantauan Padi Satelit NOAA, Peta Pangan: Ketersediaan, Distribusi, Konsumsi dan Pangan, Kewaspadaan, dan lain-lain. Situs ini juga linkage dengan beberapa departemen dan lembaga terkait lainnya, seperti: Deptan, Badan BKP, Badan POM, Depkes, Gizi-Net, BPS, dan Web Ketahanan Pangan Provinsi.

Ketika kita mengklik Informasi Ketahanan Pangan, situs ini juga akan membimbing kita menemukan sejumlah panel informasi penting, seperti peraturan perundang-undangan tentang pangan dan bahkan seluruh unit kerja di lingkungan Badan Ketahanan Pangan, antara lain Pusat Pengembangan Ketersediaan Pangan, Pusat Pengembangan Distribusi Pangan, Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, Pusat Pemberdayaan Ketahanan Pangan Masyarakat, dan Pusat Kewaspadaan Pangan. Semua unit kerja tertata secara lengkap dengan struktur organigram yang rapih. Namun demikian, jika kita melakukan penelusuran lebih lanjut, ketakjuban kita akan segera berubah menjadi kekecewaan.

Cobalah melakukan seach engine mengenai data-data pangan, seperti produksi dan ketersediaan padi, holtikultura, atau data komoditi lainnya. Kita pasti akan disuguhi data-data lama. Salah satu contoh, misalnya, mengenai keragaman konsumsi pangan yang tersedia adalah data tahun 1993-1999. Demikian pula mengenai data-data keragaman dan ketersediaan pangan lainnya, yang tersedia adalah data tahun 1990-2000. Pertanyaannya kemudian adalah apa artinya tampilan struktur organisasi yang rapih itu sementara informasi awal data base yang realtime saja tak tersedia? Padahal, informasi yang akurat, valid, dan mutakhir merupakan basis awal bagi perencanaan program. Cerita mengenai situs Dewan Ketahanan Pangan itu tentu hanya potret kecil, namun cukup memberikan indikasi bahwa aspek kelembagaan ketahanan pangan kita sangat merisaukan.

 

2.2. Aspek Teknis

Pasal 11 PP No.68/2002 Tentang Ketahanan Pangan menyebutkan bahwa penanggulangan masalah pangan ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, industri dan perdagangan, dalam negeri, kesejahteraan sosial, dan keuangan, sesuai tugas dan kewenangan masing-masing. Pesan ’moral’ pasal ini sejatinya mengasumsikan aspek koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi secara padu. Namun demikian, secara teknis, persoalan ketahanan pangan kini seolah hanya menjadi tugas Departemen Pertanian (Deptan). Di lingkup Deptan sendiri, bahkan, masalah ketahanan pangan cenderung dianggap sebagai tugas adhoc Bimas Ketahanan Pangan yang ditangani secara parsial.

Padahal dalam ketahanan pangan terdapat sejumlah aspek yang saling terkait, seperti aspek produksi, konsumsi, distribusi, dan harga. Karena itu, secara teknis masalah ketahanan pangan tidak saja merupakan tanggung jawab Deptan yang utamanya bertanggung jawab di sisi produksi (supply), tetapi juga menjadi tanggung jawab instansi terkait, misalnya aspek konsumsi dan harga yang lebih banyak ditangani lembaga lain seperti Departemen Perdagangan dan Bulog. Hingga kini memang telah dilakukan kerjasama antara Bimas Ketahanan Pangan dengan Bulog meskipun koordinasinya masih sangat terbatas dalam persoalan beras. Keputusan bersama No.04/SKB/BBKP/2002 antara Bimas Ketahanan Pangan dengan Bulog, bahkan hanya memuat masalah harga pembelian gabah.

Menganggap persoalan ketahanan pangan hanya dari sisi ketersediaan beras tentu merupakan pola pikir yang menyesatkan. Pengamat pertanian, Bayu Krisnamurthi, menyatakan bahwa ketahanan pangan menyangkut ketersediaan dan keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu.  Dalam hal ini terdapat aspek pasokan (supply), yang mencakup produksi dan distribusi pangan.  Disamping itu juga terdapat aspek daya beli, yang mencakup pula tingkat pendapatan individu dan rumah tangga.  Juga terdapat aspek aksesibilitas setiap orang terhadap pangan, yang berarti mencakup hal yang berkaitan dengan keterbukaan dan kesempatan individu dan keluarga mendapatkan pangan.[6] Namun ironisnya, egosektoral dalam penanganan ketahanan pangan masih saja kita saksikan. Tak heran ketika persoalan busung lapar muncul, misalnya, yang terjadi justru saling tuding, saling lempar tanggung jawab antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.

 

2.3. Aspek Sumber Daya Manusia

Pasal 15 PP No.68/2002 Tentang Ketahanan Pangan menyebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia dan kerjasama internasional (ayat 1). Implementasinya antara lain dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, dan penyuluhan pangan (ayat 2). Melalui Kepmen No.108/kpts/OT.210/2/2/2002, Menteri Pertanian, bahkan, membentuk Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan yang terdiri dari para pakar pertanian.[7] Upaya ini tentu tidak terlepas dari goodwill pemerintah untuk membangun sumber daya manusia yang tangguh dalam sektor pertanian.

Namun pada kenyataannya, keberadaan “kelompok pakar” itu belum berimplikasi secara berarti terhadap kualitas sumber daya pertanian kita yang tergolong masih rendah. Ini terbukti antara lain dari hasil pertanian Indonesia yang tidak cukup kompetitif sehingga berdampak pada munculnya kerawanan pangan dan meningkatnya impor pangan. Anehnya, Deptan yang secara kelembagaan seharusnya menunjukkan tanggung jawabnya, bahkan, selalu membantah jika ketahanan pangan Indonesia dikatakan bermasalah.[8] Dengan menyuguhkan data-data statistik, Deptan menyebutkan adanya kemajuan dalam produksi padi sejak 2002. Padahal, realitasnya justru menunjukkan sebaliknya. Bukan hanya beras yang mencapai 2,5 juta ton, tetapi produk pangan seperti jagung dan kedelai harus diimpor dalam jumlah tinggi hingga mencapai hampir satu juta ton.[9] Perkembangan terakhir, bahkan, menyebutkan bahwa beras impor sudah masuk sampai ke daerah sentra padi seperti Karawang. Situasi ini tentu sangat mengusik, karena sebagai lumbung padi, kini Karawang sudah dihuni beras impor. Impor dilakukan karena produksi dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan untuk konsumsi sehari-hari dan industri makanan. Sebagai sebuah mata rantai, ketimpangan itu dipicu banyak faktor, yang notabene adalah buah dari kebijakan pemerintah.[10]

Banyak pihak menilai bahwa buruknya mutu sumber daya manusia di sektor pertanian merupakan akibat dari apresiasiasi pemerintah yang rendah. Harian Kompas melukiskan rendahnya sumber daya pertanian kita, misalnya, petani tidak memperoleh akses informasi yang cukup. Hal ini dapat terlihat seperti pada saat terjadi kekeringan hingga petani tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka terpaksa membendung sungai dan berusaha sekuat tenaga mendapatkan air akibat informasi cuaca tidak diterima secepatnya. Di banyak negara, unit-unit pemrakira cuaca berada dekat dengan para petani. Mereka akan melaporkan setiap saat perubahan yang terjadi. Petani akan mudah mengantisipasi dan melakukan tindakan setiap ada informasi cuaca.

Sementara di Indonesia yang terjadi adalah petani telanjur menanam, padahal cuaca sudah tidak memungkinkan lagi mereka menanam. Akibatnya, dana besar sudah digunakan untuk usaha tani, namun dalam beberapa minggu sudah kering sehingga mati. Investasi petani menjadi sia-sia.[11] Kenyataan itu masih ditambah nasib petani yang selalu dirugikan, seolah tak ada keberpihakan pemerintah terhadap petani. Beberapa fenomena cukup menunjukkan kegetiran nasib petani dengan sangat jelas, misalnya, mulai dari naiknya harga pupuk, gagal panen akibat banjir dan kekeringan, hingga harga gabah yang anjlok di musim panen. Semua itu melengkapi potret kelam dan buruknya kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian.

 

III. Solusi Alternatif

Pembangunan ketahanan pangan tahun 2006 diarahkan pada kemandirian masyarakat/petani yang berbasis sumber daya lokal. Ketahanan pangan dimaksud meliputi ketahanan pangan tingkat rumah tangga, tingkat daerah, dan tingkat nasional secara berkelanjutan. Sasaran pembangunan ketahanan pangan antara lain, yaitu: (1) ketersediaan energi yang memadai, (2) menurunya ketergantungan pada jenis pangan tertentu, (3) meningkatnya kemampuan rumah tangga dalam mengatasi masalah ketahanan pangan, dan (4) menurunnya tingkat kerawanan pangan.[12]

               Namun sejatinya, persoalan pangan tak terbatas hanya bagaimana menyediakan atau memenuhi kebutuhan pangan rakyat, tetapi juga memikirkan nasib petani dan keluarganya. Parameter yang digunakan selama ini terlampau dangkal kalau hanya rakyat tak ada yang kelaparan dan gizi terpenuhi. Kalau hanya itu, mengimpor bahan pangan  bisa direkomendasikan. Yang lebih mendasar adalah pemerintah dituntut mampu memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Artinya paradigma ketahanan pangan harus  diubah menjadi kedaulatan pangan. Pemerintah tidak semata-mata memenuhi hak rakyat untuk memperoleh kecukupan pangan. Hak untuk memproduksi pangan pun  harus dijamin, bahkan selayaknya mendapat prioritas, sehingga kita tak lagi bergantung pada impor. Kedaulatan pangan juga mengandung pengertian, bahwa dalam persoalan pangan, Indonesia tidak harus terikat dengan kesepakatan internasional yang merugikan.[13] Untuk mewujudkan kedaulatan pangan tersebut, perlu diupayakan beberapa hal berikut.

 

3.1. Rekonstruksi Kebijakan

Meskipun strategi ketahanan pangan telah dirumuskan dalam PP No.68/2002, namun implementasinya masih menyisakan ketidakjelasan, terutama dalam hubungannya dengan alur koordinasi di tingkat daerah. Karena itu sudah saatnya dilakukan rekonstruksi kebijakan dengan memadukan kebijakan nasional dan daerah secara sinkronis. Krisnamurthi melukiskan bahwa tidak mungkin terjadi ketahanan pangan nasional tanpa operasionalisasi kebijakan ketahanan pangan daerah, dan tidak ada daerah yang mampu membangun ketahanan pangannya sendiri tanpa keterkaitannya dengan daerah lain.  Beberapa daerah dapat memiliki surplus suatu jenis pangan, tetapi tidak untuk jenis pangan lainnya. Beberapa daerah mungkin memang merupakan sentra produksi pangan, tetapi faktor produksinya dihasilkan di daerah lain (misalnya keterkaitan dalam DAS, masalah input produksi, transportasi, dan lain-lain).  Namun lebih daripada itu, adalah tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan jika daerah yang surplus tidak memperhatikan kepentingan daerah yang minus pangan. Oleh sebab itu, pengembangan ketahanan pangan perlu diawali dengan pengembangan strategi ketahanan pangan daerah, yang kemudian disinkronisasikan dan dikoordinasikan dengan daerah lain serta diletakkan dalam kerangka ketahanan pangan nasional.[14] 

Lebih lanjut, Krisnamurthi menyebutkan bahwa posisi global pangan Indonesia serta strategi ketahanan pangan daerah tersebut kemudian menjadi bagian integral dari rekonstruksi kebijakan pangan Indonesia yang setidaknya perlu mencakup hal-hal sebagai berikut :  (a) Dibangun dari ketahanan pangan keluarga (usaha peningkatan gizi dari pekarangan), dikuatkan dengan ketahanan pangan komunitas dusun/ desa (lumbung desa, sistem isyarat dini kerawanan pangan), dan dimantapkan dengan ketahanan pangan daerah, (b) Menjadi bagian integral dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan dan sebaliknya, penanggulangan kemiskinan menjadi unsur pokok pengembangan ketahanan pangan, (c) Konsumsi dan produksi pangan yang beragam, berbasis sumberdaya lokal, (d) Dalam perspektif domestik, strategi pengembangan pangan yang selama beberapa puluh tahun diperkenalkan dan dilaksanakan, telah kehilangan banyak komponen penunjangnya yang menyebabkan strategi tersebut sangat sulit untuk dapat dipertahankan.

 

3.2. Reorientasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan 

Menurut laporan FAO, setidaknya Indonesia kehilangan satu juta ton beras akibat banjir yang melanda beberapa tempat pada semester akhir tahun 2002 lalu. Selain itu, faktor lain yang sangat memicu kontraproduktifnya sektor pertanian adalah terjadinya konversi lahan. Padahal, fakta yang ada menunjukkan bahwa industrialisasi sangat terkait dengan konversi lahan. Realita ini secara tidak langsung menjadi warning terhadap dualisme industrialisasi, yaitu di satu sisi terkait dengan percepatan peningkatan nilai tambah, tetapi di sisi lain memicu dampak pengurangan lahan pertanian yang sekaligus merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan.[15]

               Mengacu pada dilema tersebut, pada World Food Summit FAO bulan November 1996 di Roma, para pimpinan negara mengikrarkan kemauan politik dan komitmennya untuk mencapai proses ketahanan pangan serta melanjutkan upaya menghapuskan kelaparan di semua negara anggota dengan mengurangi separuhnya jumlah kekurangan pangan pada tahun 2015.

Komitmen politik tersebut menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan perdesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Para deklarator menyadari pembangunan pertanian dan perdesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup diperdesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, upaya pencapaian sasaran mengatasi kelaparan dan kemiskinan harus melandaskan pula pada upaya peningkatan produktivitas pertanian dan perbaikan produksi, dan distribusi pangan.

               Sebagai negara yang turut aktif dalam forum WFS itu, Indonesia tampaknya perlu mempertimbangkan komitmen itu dan menjadikannya sebagai suatu kebijakan. Ini penting karena pembangunan pertanian dan pedesaan merupakan salah satu kunci sukses bagi pengentasan kemiskinan, dan mengikis kelaparan. 
 

3.3. Pemberdayaan masyarakat

Selama ini pemerintah cenderung mengedepankan program yang bersifat charity dalam berbagai bentuknya. Dalam program ketahanan pangan, program semacam ini sebetulnya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, memang diperlukan sebagai langkah intervensif dan darurat (transien) yang diakibatkan bencana alam, konflik sosial, dan gejolak politik, serta mengatasi kelaparan. Namun di sisi yang lain juga bisa berakibat pada lunturnya kemandirian dan daya juang masyarakat.

Secara konsepsional, program bantuan pangan dapat dipandang sebagai salah satu upaya untuk memenuhi hak atas pangan setiap individu. Namun desain program harus diletakkan dalam kerangka pemantapan ketahanan pangan rumah tangga dan wilayah. Sehubungan dengan itu, rancangan bantuan pangan tetap harus dalam kerangkan pemberdayaan masyarakat yang menempatkan pembangunan pertanian dan pedesaan sebagai strategi utama pembangunan ketahanan pangan berkelanjutan. Program bantuan pangan ini harus mampu menstimulasi pemberdayaan masyarakat pada tingkat rumah tangga dan mendorong pembangunan wilayah, utamanya dalam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian dan pangan.

Selain itu, program bantuan pangan tidak boleh menciptakan ketergantungan masyarakat penerima, tidak terkait dengan program-program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lainnya, serta tidak mengganggu pengembangan produksi dan perdagangan pangan lokal. Karena itu, program bantuan pangan sejak awal harus dikaitkan dengan upaya lain untuk pemantapan ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan. Selain itu, pelaksanaan program itu harus jelas target penerimanya, tepat waktu penyampaiannya (timeliness), dan mempunyai exit strategy yang jelas.[16]

Dalam pemberdayaan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan, program bantuan pangan merupakan instrumen jangka pendek dan bentuk intervensi yang paling sederhana. Tahapan lebih lanjut lagi adalah program pemberdayaan masyarakat “yang sesungguhnya” dalam kerangka pembangunan pertanian dan perdesaan yang lebih luas, sehingga mereka mampu mengenali peluang dan mengakses kesempatan ekonomi secara adil dan demokratis.

 

3.3. Memperkuat kapasitas lokal

Kerawanan pangan yang seringkali menampakkan wujudnya dalam bentuk kemiskinan sejatinya bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Dalam banyak kasus, kerawanan pangan juga sering merupakan dampak proses pemiskinan yang disengaja dan merupakan ekses dari proses pembangunan. Eksploitasi pembangunan yang berlebihan, misalnya, di banyak tempat telah dengan jelas merampas dan merusak kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Ketika kapasitas lokal telah dihancurkan maka masyarakat sudah tidak bisa survive, karena semua ruang dan akses sudah tertutup habis.

Contoh paling nyata, misalnya, “revolusi hijau” yang dilakukan oleh pemerintah, intensifikasi pertanian dengan penggunaan pestisida, traktor, dan teknologi lain yang tidak mempertimbangkan sistem sosial yang ada sehingga menghancurkan kultur yang ada sebelumnya. Awalnya mungkin masyarakat seperti terbantu, namun sesungguhnya dalam jangka waktu tertentu berdampak buruk pada tingkat kedayatahanan masyarakat sehingga mereka menjadi rentan karena kearifan lokalnya dihancurkan.

Sekarang, misalnya, harga pupuk naik saja petani kalangkabut karena sudah dibuat tergantung pada sistem yang ada di luar dirinya. Revolusi hijau itu pada kenyataannya tidak saja menghancurkan struktur tanah (rusaknya kesuburan, rusaknya tanaman lokal yang dikembangkan pengetahuan lokal masyarakat), tapi juga berdampak pada rusaknya sistem sosial. Social insurance dalam bentuk lumbung desa, misalnya, sekarang sudah tidak ada lagi. Padahal dulu sangat efektif berperan mengatasi berbagai masalah seperti gagal panen, musibah, kena hama, keluarga sakit, dan lain-lain. Nilai-nilai ini sekarang sudah (di)hancur(kan) sehingga petani harus menanggung beban sosial sendiri. Karena itu, upaya revitalisasi kapasitas lokal –seperti menghidupkan kembali tradisi lumbung desa— dapat dijadikan alternatif solusi untuk mengatasi kerawanan pangan sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi rezim global.

 

 

IV. Akhirul Kalam

Harus disadari bahwa ketahanan pangan yang tangguh bukanlah perkara mudah untuk mewujudkannya. Selain tiga masalah mendasar menyangkut aspek kelembagaan, aspek teknis, dan aspek sumber daya manusia, terdapat pula sejumlah permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi, terutama berkenaan dengan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah sehingga menekan ketersediaan sumber daya alam yang dapat dipergunakan untuk menyediakan pangan yang sudah sangat terbatas.

Sementara itu, kemiskinan juga menjadi salah satu masalah paling serius dalam hubungannya dengan ketahanan pangan. Keduanya merupakan hal yang berada pada “dua sisi dari uang logam yang sama”. Selain itu, persoalan ketahanan pangan juga tak lepas dari faktor eksternal dimana keterbukaan global telah menjadikan pangan sebagai salah satu komoditi yang paling menentukan dalam komunikasi dan percaturan kepentingan global. Karena itu, penanganan persoalan ketahanan pangan perlu diupayakan secara simultan. Solusi alternatif yang dikedepankan pun harus bersifat holistik dan komprehensif dengan mempertimbangkan segala aspek secara integratif.***

 

Jakarta, Medio Ramadhan 2005,

Sofian Munawar


[1] Naskah ini merupakan partisipasi Lomba Penulisan Artikel Populer Semi Ilmiah yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia  dalam rangka Hari Pangan 2005.

 

[2] Penulis adalah peneliti pada Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi  (DEMOS), Jakarta.

 

[3] Lebih rinci dapat dimak dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan.

[4] Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan.

 

[5] Husodo SY,  Muchtadi T.,  (2004). “Alternatif Solusi Permasalahan Dalam Ketahanan Pangan,” Makalah dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII: Jakarta, 17-19 Mei 2004.

[6] Krisnamurthi, Bayu, “Perum Bolog dan Kebijakan pangan Indonesia: Kendaraan Tanpa Tujuan?,” dalam JURNAL EKONOMI RAKYAT: Artikel - Th. II - No. 7 – Oktober  2003.

 

[7] Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan melibatkan 20 orang pakar pertanian yang sebagian besar berasal dari kalangan perguruan tinggi.

 

[8] Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan memberikan laporan kepada Presiden pada upacara Penyerahan Penghargaan Ketahanan Pangan 2004 dan Penerimaan Peserta Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Istana Negara, Jakarta, 9 Desember 2004. Dalam laporan itu Menteri Pertanian menyatakan bahwa situasi ketahanan pangan cukup baik. Namun tidak lama setelah itu, kita dikagetkan dengan berita busung lapar, gizi buruk, dan berbagai kerawanan pangan lainnya yang menimpa sejumlah daerah.

 

[9] Simak Kompas, “Situasi Rill Ketahanan Pangan Merisaukan”, 23 Desember 2002.

[10] Suara Pembaruan, 11 April 2005.

 

[11] Kompas, 23 Desember 2002.

 

[12] Rumusan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian (Musrenbangtan) Tahun 2006, Jakarta, 11-12 Mei 2005.

 

[13] Suara Pembaruan, Ibid.

 

[14] Ibid.

[15] Pikiran Rakyat, 19 Maret 2003.

[16] Pikiran Rakyat, Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar